Melacak Jejak Pemikiran Islam: Pribumisasi, Inklusif, dan Transformatif sebagai Jalan Damai dan Toleran

Pemikiran seperti Pribumisasi Islam (Gus Dur), Islam Inklusif (Nurcholish Madjid), atau Islam Transformatif (Moeslim Abdurrahman) merupakan upaya memahami Islam berdasarkan sejarah yang membawa pesan damai, Islam yang ramah, dan toleran.  

Pesan damai agama (Islam), seringkali dinodai oleh tafsir keagamaan sempit yang justru berpotensi mendegradasi pesan agung agama itu sendiri. Padahal, jika membaca dengan utuh, berbagai pesan itu bersifat universal dan dapat berdialog dengan berbagai kondisi masyarakat lokal. Sangat disayangkan, pesan agung agama yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan harus terjerembap pada aspek sektarian yang sempit. Berbagai informasi menunjukkan bahwa ujaran kebencian berbasis agama cukup banyak dan cenderung meningkat khususnya pada media sosial (Yusuf Rahman dkk 2022). Selain itu, tindakan intoleransi dan radikalisme atas nama agama juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Wahid Institut 2021).

Untuk memahami pesan agung agama dengan utuh, salah satunya dilakukan dengan menelaah aspek sejarah agama itu sendiri. Semua agama (termasuk Islam), mengalami proses sejarah saat diturunkan. Tidak ada satu pun ajaran agama di dunia ini yang terlepas dari aspek sejarah. Misalnya tiba-tiba agama itu datang dari langit, lengkap, utuh, dan harus ditaati umatnya di mana pun berada, tanpa mengenal ras, suku, budaya, serta bahasa di tempat turunnya ajaran itu.

Sejatinya, dengan memahami keterkaitan agama dengan sejarah dapat disimpulkan bahwa ajaran agama yang turun, mau tidak mau harus berdialog dengan konteks sosial budaya masyarakat pada waktu itu. Misalnya saja, ketika peperangan tak bisa dihindari, ajaran agama yang turun akan banyak berkaitan dengan peperangan. Pun, ketika kondisi perekonomian masyarakat identik dengan jual beli, pertanian, dan peternakan, tentu akan turun ajaran agama terkait kondisi masyarakat tersebut.

Islam, yang turun di negeri yang sekarang menjadi bagian dari negara Arab Saudi, 14 abad yang lalu, ajarannya tentu bersinggungan dengan kondisi masyarakat pada waktu itu. Misalnya saja, dalam Islam, cukup banyak ajaran tentang etika dalam peperangan, jual beli, pertanian dan peternakan.

Pada konteks peperangan, ajaran Islam turun dengan semangat etika peperangan yang sangat modern untuk zamannya. Misalnya berperang hanya jika diserang (Q.S. Al-Hajj: 33; Al-Baqarah: 190), tidak boleh berlebihan dalam berperang, tidak boleh menganiaya, sekaligus tetap menjaga harta (Q.S. Al-Baqarah: 249).

Demikian juga dengan berbagai ajaran Islam lainnya seperti shalat, puasa, zakat, dan haji bukan tiba-tiba turun dari langit. Beberapa sarjana mengungkap, bahwa berbagai ritual itu sejatinya sudah dilakukan masyarakat Arab sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Modifikasi memang dilakukan, tapi bukan berarti berbagai ajaran itu merupakan sesuatu yang baru datang dari langit atau terlepas dari sejarah.

Contoh lainnya, ritual mengunjungi Ka’bah merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Arab sebelum kelahiran Nabi Muhamad, kemudian dimodifikasi melalui berbagai ritual (ihram, thowaf, sa’i, dan wuquf ), yang dilakukan umat Islam di dunia hingga saat ini. Berbagai ritual ini dikenal secara umum sebagai ibadah haji.

Begitu pun dengan puasa dan zakat merupakan kebiasaan masyarakat Arab yang bisa jadi terinspirasi dari ajaran yang dibawa oleh Nabi sebelum Muhammad SAW. Zakat, sudah biasa dilakukan oleh masyarakat Arab, yang bisa jadi terinspirasi dari ajaran Nabi Musa (Maskudi 2011).

Fenomena di atas menunjukkan, bahwa berbagai pesan agama, termasuk ritual utama yang membentuk identitas keislaman, tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah. Perbedaan sejarah yang cukup panjang dari aspek tempat dan waktu, tentu membutuhkan penalaran (ijtihad) dalam menangkap pesan agung agama.

Misalnya saja, pada era Nabi, ketentuan zakat yang disampaikan adalah yang sesuai kondisi sosial umat pada waktu itu. Sehingga ketentuan zakatnya berupa  emas, hasil-hasil dari pertanian, peternakan, dan perdagangan. Saat ini, seiring dengan perkembangan zaman yang begitu cepat, tumbuh berbagai model bisnis baru seperti bisnis start up atau youtuber. Contoh yang lain, kondisi sosial budaya pada era Nabi belum mempersoalkan perbudakan. Maka, tidak ada satu pun ajaran Islam yang melarang perbudakan.

Perbedaan sejarah yang cukup panjang, menuntut umat Islam untuk melakukan ijtihad, agar pesan agung agama dapat terpelihara dengan baik. Diperlukan ijtihad, agar bisnis modern tetap dikenakan zakat, sesuai dengan prinsip keadilan yang ditekankan Islam. Diperlukan ijtihad untuk melarang praktik perbudakan, sesuai dengan prinsip keselamatan dan kemanusiaan yang ditekankan Islam. Secara prinsip, Islam menjunjung tinggi aspek keselamatan dan kedamaian (al-Islamiyah) kemanusiaan (al-Insaniyah), keadilan (al’adalah), persamaan (al-musawah), dialog (al-musyawaroh), dan menguji kebenaran informasi (tabayyun).

Berbagai prinsip utama yang dipegang umat Islam pada generasi awal (era kenabian) tersebut, terbukti mampu membentuk peradaban agung di Madinah. Nabi Muhammad, melalui aturan bersama yang disepakati yakni Piagam Madinah mampu mendamaikan sekaligus menyatukan antar suku Arab yang dulunya gemar berperang. Masyarakat pada waktu itu kerap digambarkan sebagai masyarakat yang damai, adil, sejahtera, meskipun berbeda, termasuk perbedaan agama (ada kaum Yahudi, Nasrani, Zoroaster).

Upaya untuk mengulang masa kejayaan Islam pada masa lalu mustahil dilakukan, jika menafikan aspek sejarah. Upaya untuk mengaitkan aspek sejarah masa lalu dengan masa kini, kemudian menjadikan prinsip utama ajaran Islam sebagai landasannya, memerlukan pemikiran (ijtihad) yang serius dari umat Islam. Sebaliknya, mengambil mentah-mentah ajaran (tekstual), tidak mau melakukan kajian mendalam, menafikan aspek sejarah justru dapat menghilangkan pesan agung agama tersebut. Sikap ini dapat mengarah pada kebencian terhadap perbedaan, permusuhan, bahkan pada tahap tertentu dapat menyebabkan tindakan ekstrem dan aksi teror.

Dengan demikian, menggunakan perspektif sejarah dalam memahami agama akan menjaga pesan agung dan mulia agama tersebut dan tetap relevan di sepanjang zaman. Menjaga kemurnian (purifikasi) ajaran islam, harus dilakukan dengan menjaga prinsip utama agama Islam itu sendiri. Umat Islam di dunia boleh mengembangkan budayanya sendiri, bahasanya sendiri pakaiannya sendiri, namun tetap harus menjaga, merawat, serta mengembangkan prinsip utama ajaran Islam di atas.

Pandangan inilah yang membuat beberapa sarjana di Indonesia mengajukan istilah pribumisasi Islam (Gus Dur), Islam inklusif (Nurcholish Madjid), atau Islam transformatif (Moeslim Abdurrahman). Memahami Islam dari aspek sejarah akan membawa pesan damai, Islam yang ramah, toleran, karena mampu berdialog dan bersahabat dengan budaya lokal.

Penulis: Nanang Hasan Susanto 

Artikel pertama kali dimuat di arina.id