Penghayat Jawa Jawata: Memahami Keberagaman dan Menjaga Kerukuan

Penulis : Aida Fissa Bellina, Editor : Sirli Amry

Kawruh Jawa Jawata diartikan sebagai Piwulang atau wejangan supaya mengetahui, melihat (ngaweruhi) tentang ajaran kehidupan dan penghidupan agar menjadi insan yang Lantip Ing Pangraito Lan Tanggap Ing Sasmitha Gaib. Jawa adalah warisan ajaran berketuhanan dan warisan nilai budaya dari para leluhur yang menggunakan bahasa Jawa dalam melakukan sembahyang serta permohonannya.

Jawata berarti Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, Paguyuban Kawruh Jawa Jawata ialah persatuan dan kerukunan berdasarkan kesamaan sebagai pewaris ajaran sekaligus nilai budaya para leluhur dalam hal penghayatan, persembahyangan, dan pengamalan kepercayaan terhadap Tuhan YME yang ada di tanah Jawa.

Paguyuban Jawa Jawata didirikan oleh Romo Guru Darim Aji Darmoleksono (Darim) beserta adik kandungnya Romo Guru Pandji Sabdo Guno (Saridjo) pada 6 Mei 1981 di Desa Sumurjomblangbogo, Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan. Tujuan dari organisasi ini adalah agar para putra dan kadang (anggota) selalu meneruskan dan melestarikan kemurnian ajaran (wejangan) dari romo Guru Darim Darmoleksono.

Selain itu juga sebagai pengembangan dan pengamalan budi pekerti luhur dalam kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara serta mengantarkan ke jalan yang benar untuk mencapai kesejahteraan yang abadi.

Menurut Ibu Sri Renggani dalam paguyuban Kawruh Jawa Jawata, seseorang tidak boleh memakan tulang dan kepala hewan jika usianya sudah dewasa yaitu masa baligh (diarkat). Sedangkan batas diperbolehkannya memakan tulang adalah ketika seseorang itu belum diarkat. Dalam acara Arkat (baiat) biasanya orang yang diarkat akan membuat sesajen untuk para leluhur terdahulu.

Pada hari orang akan diarkat maka orang tersebut tidak boleh memakan tulang dan kepala hewan. Dalam paguyuban tersebut seseorang tidak di perbolehkan memakan tulang dan kepala karena mereka percaya bahwa tulang dan kepala adalah lambang guru dari paguyuban mereka yang disebut sang hyang widhi.

Menurut penuturan paguyuban tersebut, sang hyang widhi tidak memiliki badan. Mereka hanya memiliki kepala dan leher saja. Sedangkan tidak diperbolehkannya memakan tulang karena tulang sebagai lambang gusti sulfi (seperti malaikat).

Sembahyang (ibadah) yang dilakukan para penghayat ini biasanya dilakukan pada jam 9 malam ke atas dimana orang-orang harus sudah bersih (suci) yang di sebut dengan ritual lelewur. Tempat sembahyang bagi penghayat Jawa Jawata boleh dimana saja. Pada tanggal 15 ramadhan ke atas biasanya penghayat melakukan puasa selama 3 hari 3 malam dan mereka hanya berbuka dengan air putih suci pada saat matahari terbenam. Pada hari terakhir puasa orang tersebut tidak boleh keluar kamar dan hanya melakukan semedi (berdiam diri) sampai ia tertidur.

Pada tanggal 1 juni para penghayat yang masih mampu akan pergi ke atas gunung lawu untuk melakukan sembahyang karena mereka menganggap leluhur mereka berada di gunung lawu yang Bernama Brahwijaya. Mereka juga akan memberikan sesajen berupa semar mendem, telur, dan ketan.

Ibu Sri Renggani menganut kepercayaan Kawruh Jawa Jawata sejak beliau dari kecil karena beliau mengikuti kedua orang tuanya. Akan tetapi, pada saat beliau masih sekolah beliau tetap mengikuti pelajaran Agama Islam bahkan terkadang juga mengikuti teman beliau yang sembahyang di gereja. Beliau mulai menetap untuk mengikuti kepercayaan Jawa Jawata saat usainya mencapai masa baligh.

Awal mula ibu Sri Renggani masuk kedalam kepercayaan ini karena pada saat itu beliau ingin mencari sebuah kebenaran. Alhasil kebenaran tersebut ia temukan di paguyuban Kawruh Jawa Jawata. Di lingkungan keluarganya, tidak semuanya meng anut kepercayaan Jawa Jawata, tetapi ada juga yang menganut ajaran islam.

Di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, hanya ada sebagian orang yang menjadi penganut penghayat. Masyarakat disana sudah mengetahui bahwa Ibu Sri Renggani adalah seorang penganut penghayat bahkan dirinya juga bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Ketika masyarakat penganut agama islam mengadakan acara keagamaan, Ibu Sri juga ikut serta dalam memeriahkan acara tersebut.

Sehingga tidak ada jarak antara Ibu Sri dengan masyarakat sekitar yang berbeda kepercayaan. Menurut ajaran Kawruh Jawa Jawata hubungan sosial antara manusia lebih penting daripada hubungan dengan tuhan. Menurut mereka, semua manusia adalah saudara dan harus saling tolong menolong. Berbeda dengan hubungan antara kita dan tuhan. Dimana hal itu urusan tuhan mau diterima atau tidak, yang paling penting adalah kita harus memanusiakan manusia.

Agama yang tertera di KTP Ibu Sri itu islam, tetapi dalam KTP Bapak Asworo itu kosong (-). Tanggapan Ibu Sri tentang hak sipil penghayat sudah di penuhi oleh pemerintah, dan pemerintah sudah menfasilitasi semua yang di butuhkan oleh penghayat. Menurut Ibu Sri, kita harus menjalankan kehidupan yang ada.

Di desa sumurjomblang tidak membatasi antar pemeluk agama dengan pemeluk agama lainnya. Semua Masyarakat disana hidup saling tolong menolong dan toleransi antar sesama. Pemerintah sudah melakukan pendataan pengahayat yang ada di Indonesia khususnya di Pekalongan. Namun, hanya ada beberapa penghayat yang sudah diresmikan.

Sejauh ini tidak ada konflik diantara orang islam dengan para penghayat. Mereka saling hidup berdampingan secara rukun dan damai. Orang disana tidak memaksa keyakinan seseorang karena agama atau kepercayaan itu di pilih oleh diri sendiri tanpa adanya tuntutan dari siapapun. Perilaku dan sikap orang islam di sekitar desa sumurjomblang sangat baik.

Mereka tidak pernah membeda-bedakan seseorang berdasarkan keyakinannya. Selain itu, di desa tersebut juga sudah ada tempat untuk perkumpulan para penganut penghayat, tetapi sembahyang untuk orang penghayat tersebut kebanyakan di rumah masing-masing. Biasanya mereka akan mengkhususkan satu kamar untuk di jadikan tempat sembahyang. Toleransi antar masyarakat yang berbeda keyakinan sangatlah penting. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan sekaligus menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Dengan toleransi, seluruh umat akan rukun dan damai tanpa adanya diskriminasi.