Korelasi Antara Tradisi Nyadran dengan Nilai-nilai Moderasi Beragama

Penulis : Salsabilah Fitri Riani, Editor : Jinan Uqsida

Tradisi merupakan praktik atau kegiatan yang dilakukan secara turun temurun dari masa ke masa. Tradisi diturunkan oleh nenek moyang ribuan tahun lalu, pada mulanya tradisi berasal dari kebiasaan nenek moyang kita terdahulu lalu berkembang pesat di masyarakat karena dinilai memiliki nilai-nilai yang baik. Di Indonesia terdapat ribuan budaya yang dipercaya masyarakat, salah satunya yaitu budaya nyadran. Dalam bahasa Jawa, nyadran berasal dari kata Sadran yang artinya Ruwa Shakban. Nyadran sendiri adalah tradisi yang biasanya dilakukan oleh orang jawa khususnya Jawa Tengah. Kegiatan nyadran biasanya diisi dengan menyapu atau membersihkan makam saudara dan kebanyakan terjadi di daerah pedesaan. Tradisi nyadran biasanya dilakukan sebelum datangnya pulang ramadhan, kegiatan dalam tradisi nyadran biasanya berupa membersihkan makam para saudara, menggelar doa bersama, dan berbagi makanan. 

Secara sejarah, tradisi nyadran sendiri berakar dari masa Hindu-Budha dimana dalam tradisi Hindu-Budha penghormatan yang diberikan kepada para leluhur merupakan bagian penting dalam tatanan kehidupan spiritual masyarakatnya. Kemudian ketika Islam masuk dan penyebaran agama Islam yang tidak bersifat konfruntatif melainkan adaptif oleh Wali Songo tradisi nyadran ini menyatu dengan ajaran agama Islam. Hal ini berkaitan erat dengan pendekatan yang digunakan oleh salah satu Wali Songo yaitu Sunan Kalijaga yang terkenal dengan pendekatan dakwahnya yang akomodatif terhadap buadaya lokal. Tradisi nyadran tersebut kemudian diadopsi oleh masyarakat Islam dan dilakukan sampai saat ini. 

Latar belakang inilah yang menjadikan nyadran masih eksis sampai saat ini. Di tengah kehidupan yang semakin individualis ini nyadran menjadi wadah sosial dan spiritual yang mempertemukan masyrakat dalam bingkai semangat kebersamaan. Selain itu, nyadran sendiri  bukan hanya semata-mata ajang untuk melestarikan budaya, tetapi tradisi nyadran memiliki makna serta nilai-nilai moderasi beragama di dalamnya antara lain; toleransi, gotong royong. Nilai-nilai ini sangat penting dalam membentuk masyarakat yang rukun damai dan moderat.

Baca juga : Tradisi Menyambut Ramadan: Nyekar, Padusan, dan Nyadran

Moderasi beragama berasal dari kata “moderat” yang artinya tidak berlebih-lebihan atau sedang sikap ini penting agar kita bisa hidup dengan adil tidak terlalu liberal maupun tidak terlalu radikal moderat mengusung hidup yang seimbang antara agama dan sains, agama dan budaya Jadi dapat disimpulkan moderasi beragama yaitu suatu sikap tengah-tengah dalam beragama atau sikap yang tidak terlalu condong kiri maupun condong kanan atau bisa di artikan sebagai sikap yang netral. Dengan moderasi beragama seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan, tetapi berada di tengah-tengah dan mengamalkan nilai toleransi, perdamaian, dan kebersamaan. Dalam tradisi nyadran sendiri, nilai–nilai tersebut tumbuh secara alami dan nyata. 

  • Toleransi: nyadran mengajarkan kita untuk toleransi dan menghargai antar sesama. Meskipun pada mulanya tradisi nyadran berasal dari masyarakat Islam di Jawa namun pada praktiknya tradisi ini sering kali melibatkan seluruh masyarakat tanpa melihat latar belakang agama, ras, maupun suku.

 

  • Kebersamaan: tradisi nyadran menunjukkan nilai-nilai kebersamaan. Pada sebagian masyarakat tradisi nyadran diikuti dengan pembacaan tahlil bersama serta kenduri. Hal ini dapat mempererat tali silaturrahmi antar anggota masyarakat desa.

 

  • Sebagai identitas budaya: nyadran juga berfungsi sebagai identitas budaya Indonesia. Melalui nyadran, masyarakat luar menjadi tahu akan banyaknya budaya di Indonesia yang religius sekaligus plural.

 

  • Sebagai bukti masyarakat yang moderat: tradisi nyadran juga membuktikan bahwa agama dan praktik budaya bisa berjalan berdampingan. Melalui nyadran nilai-nilai Islam juga dapat dilihat melalui ziarah dan pembacaan doa bersama. Di sisi lain tradisi nyadran juga tetap menghargai cara-cara lokal yang sudah hidup terlebih dahulu.

Baca juga : Merangkai Tradisi: Keberagaman dan Kekuatan Identitas dalam Nyadran Gunung Silurah

Meskipun merupakan bagian dari tradisi yang sudah dilaksanakan sejak puluhan tahun, Nyadran tidak lepas dari kritik. Sebagian masyarakat menilai bahwa praktik Nyadran bertentangan dengan akidah Islam, terutama karena adanya aktivitas seperti memberikan sesajen dan mendoakan arwah leluhur yang dianggap berpotensi mengarah pada kemusyrikan. Beberapa orang juga menganggap tradisi ini masih sarat dengan unsur mistik atau animisme yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang murni. Pandangan ini dapat dipahami, namun perlu disikapi secara lebih objektif.

Pada kenyataannya, Nyadran bukanlah bentuk pemujaan arwah, melainkan wujud penghormatan dan doa bagi mereka yang telah wafat. Islam pun mengajarkan ziarah kubur sebagai sarana untuk mengingat kematian dan mendoakan orang yang telah meninggal. Unsur budaya seperti kenduri atau sedekah makanan lebih berfungsi sebagai sarana mempererat hubungan sosial dan menumbuhkan rasa syukur, bukan sebagai kewajiban ritual keagamaan. Oleh karena itu, pendekatan edukatif dan dialog antar kelompok dengan pandangan berbeda menjadi penting. Tradisi seperti Nyadran perlu dipahami secara kontekstual, bukan hanya berdasarkan pendekatan tekstual semata.

Kesimpulannya ialah, nyadran sebagai perwujudan nyata bagaimana budaya lokal dan agama dapat berjalan dengan harmonis. Tradisi nyadran ini bukan hanya menjadi pengingat antara hubungan dengan leluhur, tetapi mengajarkan menjadi waduh untuk memperkuat nilai-nilai sosial dalam bermasyarakat. Dalam era yang saat ini penuh dengan kekerasan, kebencian dan semakin menurunnya sikap empati, tradisi nyadran menjadi model moderasi beragama yang bukan hanya mengandalkan doktrin semata, melainkan ada nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya yang lebih universal. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sebagai generasi muda dapat melestarikan tradisi ini, tetapi tidak hanya sampai disitu kita juga harus bisa memahami tradisi ini secara lebih dalam agar tidak adanya salah persepsi yang justru dapat merusak nilai atau makna yang terkandung di dalamnya.