Penulis : Awalia Anzilni
Editor: Fajri Muarrikh
Di era revolusi 5.0, kecerdasan buatan (AI) telah menjadi teknologi sangat berpengaruh dan mulai mengubah banyak aspek kehidupan manusia. AI mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya hanya bisa dilakukan manusia, mulai dari memvalidasi emosi hingga membuat keputusan kompleks. Dilansir dari laman Telkom University, AI semakin menyatu dengan kehidupan manusia, membuat banyak aktivitas sehari-hari menjadi lebih nyaman dan efisien. Di tahun 2025, teknologi AI diprediksi akan semakin personal dan intuitif, mempelajari kebiasaan pengguna untuk menawarkan solusi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Survei terbaru dari Statista Consumer Insights, Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara paling antusias dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI) di kehidupan sehari-hari. Survei ini menunjukkan bahwa 41 persen responden di Indonesia menyatakan kegemarannya terhadap penggunaan teknologi AI, seperti ChatGPT, untuk berbagai kebutuhan.
Namun, di balik kenyamanan dan efisiensi yang ditawarkan, hadir pula pertanyaan besar yang perlu direnungkan bersama: ke mana arah kecanggihan ini akan membawa manusia? Seiring dengan semakin kompleksnya peran kecerdasan buatan, muncul berbagai dilema etis yang tak bisa diabaikan begitu saja. Misalnya, ketika AI digunakan untuk mengambil keputusan penting dalam bidang kesehatan, pendidikan, bahkan hukum. Lalu, bagaimana jika sistem algoritma yang digunakan ternyata bias atau tidak adil? Apakah kita siap membiarkan keputusan moral diserahkan kepada mesin yang tidak memiliki hati nurani? Di sinilah pentingnya membahas kembali relasi antara teknologi dan etika, antara kecanggihan kode program dan kedalaman kode etik.
Algoritma atau kode program adalah dasar bagi AI untuk bekerja berdasarkan data dan pola. Mesin memahami dari data, lalu membuat keputusan berdasarkan pola. Namun, secanggih apapun teknologi, AI tidak memiliki hati nurani, empati, atau nilai moral. Sebuah sistem hanya akan mencerminkan nilai yang ditanamkan oleh pembuatnya. Maka, apabila penggunaan AI tidak dibingkai dengan etika yang kuat, teknologi bisa menjadi alat yang berbahaya sepert memberi ketidakadilan, mengancam privasi, hingga menghapuskan nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah pentingnya menerapkan “kode etik” ke dalam pengembangan teknologi. Hal ini dalam konteks Islam, dapat melalui Al-Qur’an sebagai sumber etika yang holistik dan relevan lintas zaman.
Al-Qur’an mengajarkan prinsip-prinsip universal seperti keadilan (‘adl), tanggung jawab (amanah), dan kasih sayang (rahmah). Prinsip-prinsip ini sangat relevan dalam membingkai arah perkembangan teknologi modern. Al-Qur’an dalam Surah Al-Hujurat ayat 13 mengajarkan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap keberagaman manusia. Nilai ini menjadi relevan ketika kita melihat kasus diskriminasi algoritmik yang terjadi di berbagai negara. Sebuah studi oleh MIT Media Lab pada tahun 2019 menunjukkan bahwa sistem pengenalan wajah berbasis AI cenderung lebih akurat mengenali wajah pria kulit putih dibandingkan wanita dan orang kulit hitam, dengan tingkat kesalahan mencapai 34,7% pada kelompok minoritas. Fenomena ini memperlihatkan bahwa AI tidak netral karena tergantung pada data yang digunakan untuk melatihnya. Maka, diperlukan landasan moral yang kuat dalam perancangan AI, agar kode program tidak sekadar mengikuti logika efisiensi, tetapi juga selaras dengan prinsip keadilan dan kesetaraan sebagaimana diajarkan dalam Islam.
Kemudian, otonomi AI dalam pengambilan keputusan juga memicu kekhawatiran. Misalnya, dalam laporan Pew Research Center (2023), 56% pakar teknologi menyatakan kekhawatiran mereka tentang AI yang suatu hari nanti bisa bertindak tanpa pertimbangan moral manusia. Padahal, sesuai dengan Q,S. Al-Baqarah: 30, islam memandang manusia sebagai khalifah di bumi, yang bertanggung jawab menjaga dan mengelola alam serta seluruh ciptaan-Nya. Maka, saat manusia menciptakan teknologi secerdas apa pun, tetap ada tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa teknologi tersebut membawa maslahat, bukan kerusakan. Oleh karena itu, diperlukan kerangka etika AI yang selaras dengan nilai-nilai agama, seperti transparansi, keadilan, dan akuntabilitas.
Salah satu fakta yang menguatkan urgensi kerangka etika dalam pengembangan AI datang dari laporan World Economic Forum tahun 2023 yang menyoroti bahwa 62% perusahaan teknologi besar mengakui belum memiliki standar etika yang konsisten dalam pengembangan kecerdasan buatannya. Hal ini menciptakan celah besar bagi lahirnya teknologi yang beroperasi tanpa acuan nilai moral yang jelas, berpotensi merugikan pengguna dan kelompok rentan. Tanpa kontrol yang baik, AI bisa digunakan untuk manipulasi opini publik, pelacakan tanpa izin, hingga eksploitasi data pribadi demi keuntungan ekonomi. Maka, sangat penting menanamkan prinsip amanah dalam pengembangan AI sebagaimana Islam mengajarkan amanah, termasuk amanah ilmu dan teknologi yang harus dijalankan secara bertanggung jawab serta tidak merugikan pihak lain.
Mengintegrasikan antara kecanggihan AI dan nilai-nilai Qur’ani bukan berarti menolak teknologi, tetapi justru memastikan agar teknologi berkembang secara bertanggung jawab. Pendidikan etika berbasis nilai Qur’ani harus ditanamkan kepada para pengembang teknologi. Pengembangan AI bukan hanya untuk efisiensi, tapi juga untuk keadilan dan kemanusiaan. Dalam dunia yang makin terdigitalisasi, kita membutuhkan kebijaksanaan yang mendalam. Di sinilah peran umat Islam, khususnya generasi muda, bukan hanya sebagai pengguna AI, tetapi juga sebagai pengembang teknologi yang berakar pada nilai-nilai luhur.
Nilai-nilai Islam, dengan semangat rahmatan lil ‘alamin, dapat menjadi jembatan yang kokoh untuk memastikan AI berfungsi sesuai nilai kemanusiaan.
Pada akhirnya, pertarungan antara “kode program” dan “kode etik” bukanlah pertarungan yang saling meniadakan, melainkan ruang untuk saling melengkapi. Dunia membutuhkan lebih dari sekadar kecerdasan buatan namun juga membutuhkan kebijaksanaan manusia. Kode program yang membentuk mesin harus dikendalikan oleh kode etik pengembang yang diberikan melalui hati nurani. Al-Qur’an dapat menjadi panduan moral untuk mengarahkan kecanggihan teknologi ke jalan yang benar.
Dunia tidak hanya membutuhkan teknologi yang cerdas, tapi juga manusia yang bijaksana dalam menggunakannya. Kita sedang berada pada persimpangan, apakah teknologi akan menjadi alat pembebasan atau justru memperbudak manusia? Jawabannya ada pada nilai yang kita tanamkan, dan Al-Qur’an dapat menjadi lentera dalam menjalaninya.