Menafsir Bencana melalui Perspektif Agama

Penulis: Intan Diana Fitriyati, Editor: Azzam Nabil H.

Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Pekalongan pada Januari ini menyisakan duka mendalam bagi banyak pihak. Tidak hanya Pekalongan, kota-kota lain di Indonesia juga kerap mengalami bencana serupa. Fenomena ini sejatinya bukanlah hal baru di Indonesia. Letak geografis Indonesia yang rawan bencana alam memang telah lama diketahui

Sikap manusia terhadap bencana sangat dipengaruhi oleh cara pandang mereka terhadap peristiwa tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bencana diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Dalam konteks ini, penderitaan akibat bencana selalu merujuk pada manusia. Jika tidak ada manusia yang terdampak, maka peristiwa alam tidak akan disebut sebagai bencana. Oleh karena itu, cara pandang manusia terhadap bencana akan menentukan tindakan mereka dalam menghadapi dan mengatasinya.

Islam, melalui Al-Qur’an, memberikan kerangka pemahaman yang mendalam tentang bencana. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah untuk menyebutkan bencana, yang masing-masing memiliki makna berbeda. Istilah-istilah ini tidak hanya membantu manusia memahami fenomena bencana tetapi juga menawarkan panduan dalam menyikapinya dengan arif dan bijaksana.

Baca juga: Perluas Layanan Iklim Ke Daerah Terpencil BMKG Adakan Lokakarya iklim Internasional  

Disamping itu, kejadian bencana seringkali dalam Al-Qur’an disebut “musibah.” Kata ini berasal dari bahasa Arab (‘ashoba-yusibu’), yang berarti sesuatu yang menimpa. Dalam Al-Qur’an, kata “musibah” bersifat netral, tidak selalu dikaitkan dengan peristiwa negatif. Namun, dalam bahasa Indonesia, “musibah” sering diartikan sebagai peristiwa buruk yang menyengsarakan.

Contoh penggunaan istilah “musibah” dapat ditemukan dalam Surat Al-Hadid ayat 22-23, “Tiada suatu musibah yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami menjelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak suka orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Dalam hadits, Nabi Muhammad saw. juga menjelaskan bahwa musibah dapat menjadi kebaikan bagi orang beriman. Rasulullah bersabda, “Sungguh menakjubkan perihal kaum mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah (bernilai) kebaikan. Jika ia ditimpa nikmat, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa bencana, ia bersabar, dan itu juga baik baginya.” (HR Muslim)

Dengan demikian, musibah mengajarkan manusia untuk bersyukur atas nikmat dan bersabar dalam menghadapi cobaan. Dengan demikian, manusia memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas izin Allah, baik berupa nikmat maupun ujian.

Selain “musibah,” istilah lain yang digunakan dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan bencana adalah “bala” yang berarti ujian. Kata ini merujuk pada ujian yang dapat berupa kebaikan maupun keburukan. Dalam budaya Indonesia, istilah “bala” sering diasosiasikan dengan hal-hal buruk, seperti dalam ungkapan “tolak bala.” Namun, Al-Qur’an memberikan perspektif berbeda. Dalam Surat Al-A’raf ayat 168, disebutkan “Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; diantaranya ada orang shalih dan yang tidak. Dan Kami uji mereka (bala) dengan nikmat (yang baik-baik) dan bencana (yang buruk-buruk), agar mereka kembali (kepada kebenaran).”

Bala’ memiliki fungsi sebagai pengingat dan penguat keimanan. Orang yang mampu bersyukur atas nikmat dan bersabar atas bencana akan mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi, “Sesungguhnya besarnya pahala adalah karena ujian. Sungguh jika Allah mencintai suatu kaum, maka Ia akan menimpakan ujian (bala’) kepada mereka. Barang siapa ridha terhadapnya, maka ia yang akan meraih ridha Allah. Barang siapa yang tidak, maka Allah akan murka.” (HR Tirmidzi)

Penyebutan bencana dalam Al-Qur’an juga disebutkan dengan istilah “fitnah.” Kata “fitnah” dalam Al-Qur’an memiliki arti cobaan atau ujian. Namun, dalam bahasa Indonesia, “fitnah” lebih sering diartikan sebagai tuduhan yang tidak benar. Dalam Al-Qur’an, istilah ini digunakan untuk menggambarkan berbagai makna, seperti kemusyrikan (QS Al-Baqarah: 191), cobaan (QS Al-Ankabut: 3), dan azab (QS Yunus: 83).

Fitnah juga dapat berupa ujian dalam bentuk hubungan sosial, seperti yang dijelaskan dalam Surat At-Taghabun ayat 15, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” Meski sering bermakna negatif, fitnah dapat menjadi sarana introspeksi diri dan peningkatan kualitas keimanan.
Konsep Bencana dalam Islam

Disisi lain, Islam menawarkan konsep bencana yang beragam, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an. Istilah-istilah seperti “musibah,” “bala,” dan “fitnah” memberikan pemahaman mendalam tentang fenomena ini. Islam juga menekankan bahwa bencana yang dialami manusia sering kali merupakan akibat dari perbuatan mereka sendiri, seperti kerusakan lingkungan atau konflik sosial.

Dalam Fikih Kebencanaan, bencana sosial maupun ekologis diwakili oleh istilah “fasad” (kerusakan) yang mencakup kerusakan moral, sosial, dan lingkungan. Adapun bencana akibat perpecahan agama disebut “nazilah.” Sementara itu, bencana alam destruktif disebut dengan istilah seperti “halak” (kehancuran) atau “tamziq” (penghancuran).

Baca juga: Menjelajah Makna dan Hikmah: Pemahaman Al-Quran dalam Kehidupan Umat Islam

Salah satu peran penting agama dalam mitigasi bencana adalah membentuk cara pandang masyarakat terhadap peristiwa yang menimpa mereka. Al-Qur’an memberikan panduan bahwa setiap kejadian telah ditetapkan oleh Allah (QS Al-Hadid: 22-23). Namun, kerugian yang dialami manusia sering kali merupakan akibat perbuatannya sendiri (QS An-Nisa: 79). Dengan demikian, Islam mengajarkan pentingnya tindakan preventif, seperti menjaga lingkungan dan memupuk keharmonisan sosial.

Selain itu, Islam mendorong umatnya untuk menghadapi bencana dengan tindakan terbaik dan tidak berputus asa. Dalam setiap bencana, terdapat hikmah yang dapat diambil, serta peluang untuk meningkatkan keimanan dan kualitas hidup. Allah berjanji akan mengangkat derajat mereka yang sabar dan bersyukur dalam menghadapi ujian (QS Al-Baqarah: 155-156).

Dengan memahami bencana melalui perspektif Islam, masyarakat dapat lebih bijaksana dalam menyikapi setiap kejadian. Tindakan seperti menjaga lingkungan, membangun solidaritas sosial, dan meningkatkan spiritualitas adalah langkah penting dalam menghadapi bencana dengan penuh keimanan dan optimisme.