Strategi Penaklukan Andalusia oleh Thariq bin Ziyad: Kebijakan, Taktik Militer, dan Dampak Sosial-Politik

Penulis : Ananda Rizka Oktaviana, Editor : Choerul Bariyah

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menginterpretasi kebijakan Thariq Bin Ziyad dengan kecakapan militernya dalam penaklukan Andalusiadari 711-714 M dan mendeskripsikan kondisi sosial-politik praperang sehingga akhir dari perang antara Pasukan Islam dan Pasukan Kristen di Andalusia. Hipotesis yang diajukan adalah: 1) Thariq bin Ziyad mampu mengalahkan musuhnya dengan sekali serangan tanpa ada strategi jitu 2) Penyerangan hanya sebatas dari pinggiran pantai Andalusia saja tanpa perlu invansi ke wilayah daratan tengah hingga ke utara. Penelitian merupakan kajian kepustakaan dan observasi langsung ke lokasi penelitian; dengan menggunakan metode penelitian sejarah, yaitu: heuristik, kritik sumber (verifikasi), sintesis dan penulisan (historiografi). Hasil penelitian ini pembuktian bahwa penyerangan berhasil dilakukan dengan strategi khusus yang dibuat oleh Thaiq Bin Ziyad dalam jangka waktu hampir setahun persiapan sekaligus mengalahkan hingga membunuh pimpinan Kerajaan Visigoth. Akibatnya Thariq dan pasukannya dengan mudah menaklukan seluruh Andalusia dari Selatan hingga ke Utara, ada yang dengan pertempuran dan ada pula yang tanpa pertempuran.

Kata Kunci : Thariq Bin Ziyad, Penaklukan Andalusia

PENDAHULUAN

Penaklukan besar pernah terjadi pada abad ke 8 M, dimana untuk pertama kalinya dunia islam dapat tersebar ke wilayah benua Eropa tepatnya dari Gibraltar hingga ke Semenanjung Ibera (Spanyol klasik). Andalusia dikenal sebagai wilayah yang dihuni mayoritas besar oleh kaum Kristenyang terkenal kuat sistem militernya.

Panglima adalah kiblat dan sandaran pasukan perang. Dengan pemahaman inilah Musa Bin Nushair kemudian mengangkat pemimpin suku Barbar yang pemberani Bernama Thariq bin Ziyad (50-102 H/ 670-720 M), sebagai pemimpin pasukan yang akan bergerak menuju Andalusia. Dialah panglima yang menggabungkanantara rasa takut kepada Allah dan sikap wara’ , serta kemampuan militer, kecintaan pada jihad dan keinginannya untuk mati syahiddijalan Allah. (As-Sirjani, 2013, hal. 38)

Thariq Bin Ziyad menaklukan Andalusia pada masa pemerintahan khalifah Al-Walid bin Abdul Malik yang berkuasa pada tahun 705-715 M. Tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju Barat Daya, sampai Benua Eropa yaitu pada tahun 711 M. Setelah aljazair dan maroko dapat ditundukan. Dibawah kepemimpinan dinasti Umayyah di Afrika Utara, Musa Bin Nushair mengirim Thariq Bin Ziyad sebagai pemimpin pasukan islam, dengan membawa pasukan yang berjumlah 12.000,kemudian menyebrangi selat yang memisahkan Maroko dan Benua Eropa dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan Jabal Tariq yang terletak di Benua Eropa. Sehingga pasukan Roderick yang menguasai Spanyol yang berjumlah 100.000 dapat dikalahkan oleh Thariq Bin Ziyad dan pasukan kaum Muslimin. (Yatim,2008)

TEORI DAN METODE

Pendekatan yang digunakan yaitu dengan Sejarah dan militer. Pendekatan Sejarah merupakan pandangan berfikir secara kontekstual sesuai dengan ruang dan waktu. Peristiwa ini terjadi tanpa meninggalkan hakikat perubahan yang terjadi dalam proses sosio-kultural, atau proses dimana aspek kemasyarakatan dan kebudayaan menjadi landasannya. (Dien Madjid dan Johan Wahyudi, 2014, hal. !3)

Adapun teori yang digunakan adalah teori strategi penyerangan dari Sun Tzu, yaitu: 1. Mempelajari siasat tempur lawan dengan serangan gertakan; 2. Menghidupkan kembali kebiasaan orang terdahulu untuk kepentinagn sendiri yang berguna dalam pertempuran; 3) Tidak melakukan penyerangan pamungkas terlebih dahulu, akan tetapi giring pasukan musuh untuk meninggalkan pusat kekuasaannya sehingga terhindari dari sumber kekuatannya; 4) Apabila mereka sudah masuk tahap detik-detik kekalahan, biarkan terlebih dahulu mereka kesempatan untuk bebas dan setelah itu menunggu reaksinya; 5) Mempersiapkan jebakan untuk memperdaya musuh dengan umpan berupa ilusi kekayaan, kekuasaan dan seks dan; 6) Tangkap komandan atau panglima pasukan, maka pasukan musuh menjadi terpecah belah.

Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah. Metode merupakan sebuah cara prosedural untuk berbuat dan mengerjakan sesuatu dalam sebuah sistem yang secara teratur dan terencana. Jadi, terdapat pra-syarat ketat dalam melakukan penelitian yaitu sistematis. (Dien Madjid dan Johan Wahyudi, 2014, hal. 217) Seyogianya penelitian yang dilakukan oleh penulis sendiri lebih kepada melakukan peninjauan pustaka, serta setidaknya ada sedikit banyaknya melakukan peninjauan melalui dunia maya (internet). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah.

PEMBAHASAN

Riwayat Hidup Thariq bin Ziyad

Nama lengkapnya adalah Thariq bin Ziyad bin Abdullah bin Walghu bin Warfajum bin Naighas bin Masthas bin Bathusats bin Nafzah. Ia berafiliasi pada kabilah Barbar Nafzah. Meskipun banyak perbedaan pendapat di kalangan ahli nasab terkait asal muasal Thariq bin Ziyad, apakah berasal dari bangsa Arab atau bangsa Amazig. Namun, mayoritas para pakar sejarawan mendukung nasab Thariq bin Ziyad berasal dari salah satu suku Amazig utama di Maghribi yang dikenal pada saat ini yaitu Maroko. (Ali, 2017, hal. 218)

Sebelum masuk Islam ia disebut-sebut sebagai budak asal suku Barbar, kelompok Zafdah di Afrika. Riwayat lain menyebutkan ia seorang Farisiy dari keluarga Hamadhan (Persia Hamdhaniah), atau dari Kabilah Nafsah Barbariyah bermoyang Assodaf (bukan Barbar asli). Thareq al-Laitsy (julukan dari Ibnu Khaldun) lahir pada 50 H/ 670 M, dan wafat pada 102 H/ 720 M. Sejak usia belia diasuh dalam lingkungan keluarga yang saleh oleh ayahnya yang telah muslim di masa pemerintahan Uqbah bin Nafi’. Roh dan api Islam yang menghantarkan beberapa waktu kemudian menjadi prajurit dahsyat dalam sejarah dunia. (Arsyad, 2000, hal. 401)

Thariq bin Ziyad dilahirkan pada tahun 50 H/ 670 M, kelahirannya bertepatan dengan masa-masa peperangan di Afrika Utara. Thariq bin Ziyad mengalami masa-masa tersebut pada saat masih kecil, remaja, dan dewasa. Semenjak kecil, ia di asuh oleh ayahnya yaitu Muhammad Badr. Thariq bin Ziyad ahli dalam menunggangi kuda, ia juga sangat pemberani. Badannya sangat kuat, secara fisik warna kulitnya sawo matang dan kedua bibirnya tebal. Pada bahu sebelah kiri terdapat sebuah tahi lalat berukuran cukup besar yang ditumbuhi rambut. (Nursi, 2007, hal. 204)

Thariq bin Ziyad merupakan bekas budak yang dimerdekakan oleh Musa bin Nushair dan di tangannya juga Thariq bin Ziyad memeluk agama Islam. (Mahmud, 2017, hal. 181) Jiwa ksatria Thariq bin Ziyad semakin nampak setelah dekat dengan Musa bin Nushair, apalagi setelah memeluk Islam. Thariq bin Ziyad berubah menjadi pribadi yang relegius dan giat mempelajari Islam. Hal itulah yang membuat Musa bin Nushair kagum sehingga begitu percaya kepada Thariq bin Ziyad dan menjadikan ia sebagai pemimpim pasukan. Dengan masuknya Thariq bin Ziyad ke agama Islam menjadikannya seorang panglima, ahli dalam politik, cerdas memimpin pasukan dan dapat menaklukkan berbagai kota serta negeri.

Musa bin Nushair melihat di dalam diri Thariq bin Ziyad terdapat kemuliaan, kejantanan, keberanian, dan kemampuan mengatur berbagai hal dengan bijak. Hal ini menjadikan Thariq bin Ziyad masuk ke dalam jajaran orang-orang dekat Musa, sehingga Musa bin Nushair selalu mengandalkannya di tengah-tengah situasi-situasi sulit. Bukti paling kuat yang menunjukkan kepercayaan Musa terhadap Thariq bin Ziyad adalah ketika berhasil menaklukan kota Tangier. Musa mengangkat Thariq sebagai pemimpin Tangier ibu kota dari Maghribi pada tahun 708 M. Wilayah Tangier (Thanja) adalah sebuah kota di Maroko yang berada di bagian utara, wilayah ini merupakan kawasan yang luas. (Ali, 2017, hal. 417)

Meskipun Thariq bin Ziyad dari kalangan Barbar, Musa bin Nushair lebih mengedepankannya dibandingkan orang-orang Arab. Itu semua disebabkan karena: (As-Sirjani, 2013, hal. 38-39); Kapabilitas. Meskipun Thariq bin Ziyad bukanlah dari kalangan bangsa Arab, namun itu tidak menghalangi Musa bin Nushair untuk mengangkatnya memimpin pasukan. Karena ia mengetahui betul bahwa tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang non Arab, juga sebaliknya, kecuali ketakwaannya. Ia menemukan pada diri Thariq bin Ziyad kelebihan dibandingkan yang lain, dalam kemampuannya untuk memahami dan memimpin kaumnya sendiri.

Kemampuan Dalam Memimpin

Selain kapabilitas Thariq bin Ziyad yang membuatnya unggul, keberadaannya sebagai seorang yang berasal dari suku asli Amazig (Barbar) juga sangat memberikan kontribusi dalam menyelesaikan semua faktor-faktor psikologis yang mengganjal di hati orang-orang Barbar yang belum lama masuk Islam. Karena itu, ia berhasil memimpin dan menundukkan mereka untuk mencapai tujuan yang ia inginkan. Disamping itu,sebagai orang Amazigia tentu mampu memahami bahasa kaumnya. Sebab tidak semua orang Barbar menguasai percakapan dengan Bahasa Arab, sementara Thariq bin Ziyad menguasai kedua bahasa tersebut; Arab dan Amazig.

Kondisi Sosial-Politik, Penyebab dan Alur Penaklukan Andalusia

Wilayah Andalusia sebelum masuknya Islam pernah dikuasai bangsa Phoenicia, Charthage, Romawi, Vandals, setelah itu dikuasai Bangsa Visigoth selama lebih dari dua abad. (Alatas, 2007, hal. 53) Andalusia yang pernah berada dibawah kekuasaan Romawi Barat sampai abad kelima Masehi. Selanjutnya Spanyol jatuh ke tangan Bangsa Visigot, salah satu suku Germanium yang berimigrasi dari dataran tinggi India menuju Eropa untuk mencari tempat pengembalaan dan mata pecaharian. Mereka menetap di lembah-lembah Eropa, sebagaimana bangsa Arab menetap di wilayah Syam dan Irak. (Zidan, 2014, hal. 05)

Kerajaan Visigoth menganut sistem pemilihan untuk menentukan raja mereka. Pemilihan ini biasanya dilakukan suatu sidang yang terdiri dari kaum bangsawan dan tokoh-tokoh gereja. Beberapa raja harus berusaha menciptakan sistem monarki yang turun-temurun, tetapi biasanya tidak mampu bertahan lama karena kuatnnya tantangan dari para bangsawan dan pendeta. Dapat dikatakan tidak ada raja yang turun temurun lebih dua atau tiga generasi di Kerajaan Visigoth. Ini menunjukkan kuatnya pengaruh para bangsawan serta pendeta dalam pemerintahan. (Alatas, 2007, hal. 57-58)

Akhirnya pada saat sidang Toledo ke-6 (The 6 th council of Toledo) pada tahun 638 M. Sistem Monarki tidak bisa dipertahankan sehingga sisitem pemilihan Kerajaan Visigoth telah berubah menjadi sistem musyawarah. Dengan sistem musyawarah ini terpilihlah Roderick menjadi Raja Visigot menggantikan Raja Witiza. Terpilihnya Roderick dari hasil musyawarah kaum bangsawan dan tokoh gereja. Setelah Roderick menjadi raja, kasus-kasus pengambil alihan kekuasaan sesekali masih tetap terjadi. Hal ini menggambarkan tidak stabilnya sistem politik Kerajaan Visigoth. Kestabilan hanya terjadi saat pemerintahan dipegang oleh seorang raja yang kuat. (Alatas, 2007, hal. 59)

Roderick adalah seorang panglima militer di Kerajaan Visigoth dibawah kepemimpinan Raja Witiza, dengan demikian Roderick menjadi raja baru di Andalusia pada tahun 710 M. Sejarah memang mencatat kesuksesannya naik ketampuk kekuasaan, tetapi sejarah lebih mengenalnya sebagai penguasa terakhir Kerajaan Visigot. Pada masa kepemimpinannya dua abad lebih pemerintahan bangsa Visigoth di Andalusia mendapati keruntuhannya. Pemerintahannya hanya berkira satu tahun tidak berjalan secara stabil. Perebutan kekuasaan yang ia lakukan berdampak pada kekacauan dalam bidang politik. (Alatas, 2007, hal. 67-68)

Secara politik kondisi Andalusia sebelum masuknya kaum Muslimin memang sedang dalam keadaaan perpecahan, karena munculnya pemberontakan, salah satunya di wilayah Basque (Barcelona). Munculnya beberapa negara-negara kecil yang tidak mau tunduk pada kekuasaan Kerajaan Visigoth, serta terjadinya perselisihan antara Raja Witiza dan Raja Roderick. Bersamaan dengan itu, sikap tidak toleran dan berbagi macam penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa Kerajaan Visigoth terhadap pemeluk agama lain di wilayahnya membuat mereka banyak melakukan pengkhianatan dengan berpihak kepada kaum Muslimin. (Hitty, 2006, hal. 642)

Menjelang penaklukan kaum Muslimin masyarakat Andalusia sangat memprihatinkan. Karena masyarakat terbagi dalam beberapa kelas sesuai dengan latar belakang sosialnya, di antaranya yaitu:; Kelas bangsawan, mereka berasal dari keturuna bangsa Gothik, penakluk Sapnyol yang menguasai mayoritas tanah pertanian subur disertai dengan pembebasan mereka dari pajak. Kelas ini menduduki jabatan ketentaraan dan kepemimpinan dalam urusan agama; 2) Kelas tokoh agama, kelas kedua ini memiliki peran penting sehingga menguasai sebagian besar tanah-tanah pertanian subur serta terbebas dari pajak. Kelas kedua ini bersama para bangsawan menguasai pemerintahan, sementara pemerintahan sendiri hanya membahas bagaimana cara merampas harta dan menambah kekayaan para penguasa; 3) kelas budak pedagang, petani, dan tuan-tuan tanah, mereka memikul beban berat untuk membayar pajak dan memuaskan keserakahan para penguasa; 4) Kelas budak tanah, mereka mengolah tanah pertanian milik para tuan tanah besar, dan mereka sendiri bersama keluarganya termasuk bagian dari kekayaan tuan tanah. Mereka tidak memiliki hak apapun sehingga bebas dipindahkan dari satu tuan tanah ketuan tanah lainnya; 5) Kelas tawanan perang, mereka di perjual belikan dan tidak memiliki hak apapun; 6) Kelas Yahudi, mereka peran besar kehidupan negara. Sebagaimana kebiasaanya, mereka mampu menguasai sarana- sarana ekonomi secara umum, dan para penguasa pun merasakan dampak dominasi mereka.karena itu para penguasa melancarkan permusuhan dan memaksa Yahudi untuk meninggalkan agamanya dan masuk Kristen (As-Sirjani, Ensiklopedia Sejarah Islam, 2013, hal. 221).

Latar Belakang dan Proses Penaklukan Andalusia
Pertempuran Barbate (Awal Mula Penaklukan)

Thariq bin Ziyad mulai menyiapkan dirinya untuk menghadapi pertempuran. Hal pertama yang dilakukannya adalah mencari lokasi yang tepat untuk melakukan pertempuran, sehingga ia menemukan sebuah lokasi yang bernama Lembah Barbate. Pada tanggal 28 Ramadhan 92 H (19 Juli 711 M) di Lembah Barbate terjadi pertempuran yang sangat sengit. Pasukan kaum Muslimin memenangkan pertempurannya melawan pasukan Roderick yang berjumlah 100.000 pasukan, mereka bercerai berai dan Roderick terbunuh dalam pertempuran ini. (As-Sirjani, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, 2013, hal. 52)

Ketika surat pasukan yang lari akibat kekalahan itu sampai di tangan Roderick, kabar itu menjadi hantaman yang sangat keras baginya. Ia menjadi sangat marah. Dengan semua kesombongan dan keangkuhannya, ia mengumpulkan seluruh pasukannya yang berjumlah 100.000 prajurit kavaleri (berkuda). Ia memimpin mereka berangkat dari utara menuju selatan dengan tujuan menghadapi

kaum muslim, sementara Thariq bin Ziyad hanya membawa 7.000 pasukan yang mayoritasnya hanyalah pasukan infantri (pejalan kaki) dengan sejumlah kecil kuda. Maka ketika ia melihat fakta kekuatan Roderick, ia menemukan bahwa akan sangat sulit menghadapi mereka; 7000 berhadapan 100.000 prajurit. Ia akhirnya mengirimkan pesan kepada Musa bin Nushair untuk meminta bantuan. Musa bin Nushair akhirnya mengirimkan Tharif bin Malik dengan 5.000 prajutir infanteri yang dibawa dengan menggunakan kapal-kapal laut. (As- Sirjani, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, 2013, hal. 54-55)

Tharif bin Malik pun tiba menemui Thariq bin Ziyad sehingga jumlah pasukan Islam mencapai 12.000 prajurit. Thariq bin Ziyad pun mulai menyiapkan dirinya untuk menghadapi pertempuran. Hal pertama yang dilakukannya adalah mencari lokasi yang tepat untuk melakukan pertempuran, hingga ia menemukan sebuah lokasi yang dikenal dengan lembah Barbate. Sebagian referensi menyebutnya dengan nama Lembah Lakka (Lacca). Pemilihan Thariq bin Ziyad terhadap lokasi ini didasarkan pada pandangan strategis dan militer penting; karena sisi belakang dan kanannya berdiri gunung yang tinggi. Itu tentu saja akan menjadi pelindung bagi belakang dan sisi kanan pasukan Islam, sehingga tidak ada seorang pun yang akan mampu berputar di sekitarnya. Sementara di sisi kirinya juga terdapat sebuah danau, sehingga ini menjadi sisi yang sangat benar-benar aman. Lalu di jalan masuk bagian selatan lembah ini (yaitu di bagian belakangnya), ia memasang kelompok pasukan yang kuat dipimpin oleh Tharif bin Malik, agar tidak ada seorang pun yang menyerang bagian belakang kaum muslimin. Dengan begitu, ia mampu berkonsentrasi menghadapi pasukan Kristen dari arah depan kawasan tersebut, dan tidak ada yang dapat menyerangnya dari belakang. (As-Sirjani, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, 2013, hal. 55).

Kebijakan Thariq bin Ziyad dalam Penaklukan Andalusi

Dalam pembebasan wilayah Spanyol, perjalanan Thariq bin Ziyad menuju wilayah Spanyol yang menempuh jalur Laut sejauh 30 km. Kemudian Thariq bin Ziyad dan pasukannya mendarat di pantai di sebelah bukit Gibraltar (Jabal Thariq). Begitu mendarat, dimulailah strategi brilian dari Thariq bin Ziyad sebagai berikut: 1) Thariq bin Ziyad membakar seluruh kapal yang mengangkut mereka. Hal ini bertujuan untuk memupuskan harapan kembali pulang di dalam jiwa para pasukan, dan mereka menghadapi musuh dengan penuh semangat tanpa putus asa. (As-Sirjani, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, 2013, hal. 64); 2) Pidato Thariq bin Ziyad terhadap pasukannya, ketika dua pasukan saling berhadapan di dekat Lembah Rainka, Thariq bin Ziyad menyampaikan pidato di hadapan pasukannya, mendorong mereka untuk bersabar dan berperang, serta membangkitkan semangat ditengah-tengah mereka. Pidato ini seperti ini merupakan kebiasaan sebagian besar para komandan kaum muslimin. (Ali, 2017, hal. 420)

KESIMPULAN

Thariq bin Ziyad dikenal sebagai penduduk asli berkebangsaan Barbar; Bangsa Barbar menghuni wilayah Ifriqiyah; mereka diketahui merupakan suku yang pandai berperang dan selalu ikut serta dalam penaklukan di wilayah Afrika Utara. Thariq bin Ziyad hidup di masa pemerintahan Dinasti Umayyah, tepatnya masa kekuasaan Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Walaupun dia berasal dari suku yang biasa- biasa saja, akan tetapi karena Thariq bin Ziyad memiliki kecerdasan dan kemampuan dalam ilmu kemiliiteran dan peperangan di medan pertempuran, akhirnya secara tidak langsung memberikan dampak bagi sukunya sendiri, sehingga terangkatlah derajat sukunya.

Sebelum penaklukan Andalusia oleh Thariq bin Ziyad, Andalusia dihuni oleh mayoritas besar dari kaum Kristen yang dikuasai oleh Kerajaan Saat menuju kehancurannya ditangan pasukan Islam, Andalusia berada dalam keadaan memprihatinkan, karena terjadinya konflik internal perebutan kekuasaan dalam kerajaan, ditambah lagi adanya sistem kelas yang memarjinalkan kaum proletar atau rakyat kecil di Andalusia. Sedangkan mereka dari kalangan elit tetap dalam keadaan berfoya-foya dan sewenang-wenang terhadap masyarakat kecil tersebut. Oleh Sebab itulah, penaklukan pasukan Islam terjadi karena adanya dukungan secara tidak langsung dari masyarakat di sana agar mereka bisa bebas dari kungkungan “kejahatan” yang dibuat oleh Kerajaan Visigoth. Awal penaklukan dilakukan oleh Thariq bin Ziyad melalui Lembah Barbate Bersama pasukannya yang sebelumnya spionase sudah dilakukan oleh Tharif bin Malik.

 

REFERENSI

Alatas, A. (2007). Sang Penakluk Andalusia (Tariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair). Jakarta: Zikrul.

Ali, M. (2017). Abthalul Fathul Islami. (U. Mujtahid, Penerj.) Jakarta: Ummul Qura.

Arsyad, M. N. (2000). Cendekiawan Muslim dari Khalili sampai Habibie. Jakarta: RajaGrafindo Persada.