Mengapa Moderasi Diperlukan dalam Politik Identitas?

Penulis: Mamluaturrizqi, Editor: Sirli Amry

Dalam akhir akhir ini, politik identitas telah menjadi sorotan utama di banyak negara termasuk Indonesia. Politik identitas merujuk pada gerakan politik yang menekankan kepentingan dan pengalaman kelompok berdasarkan identitas tertentu, seperti ras, etnis, gender, agama, atau orientasi seksual. Dalam konteks global, politik identitas sering kali muncul sebagai respons terhadap marginalisasi dan penindasan yang dialami oleh kelompok-kelompok ini. Namun, meskipun memiliki potensi untuk memberdayakan, politik identitas juga membawa tantangan tersendiri.

Dalam pemilu 2024 yang sudah berlalu, pemilih mungkin lebih cenderung memilih kandidat yang dianggap mewakili identitas mereka. Hal ini terlihat dalam pemilihan gubernur, legislatif, dan bahkan presiden, di mana faktor identitas etnis dan agama sering kali menjadi pertimbangan utama. Kandidat yang cerdas akan memperhitungkan identitas dalam strategi kampanye mereka. Mereka mungkin menciptakan pesan yang menarik dengan kelompok tertentu sambil tetap berusaha menjangkau pemilih yang lebih luas.

Kampanye politik identitas semakin menjadi sorotan dalam konteks pemilu, terutama di negara yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya. Kampanye sering kali menargetkan kelompok tertentu berdasarkan identitas, seperti etnisitas atau agama. Pesan yang disampaikan disesuaikan sesuai dengan pengalaman dan aspirasi kelompok tersebut.

Baca Juga: Strategi Penaklukan Andalusia oleh Thariq bin Ziyad: Kebijakan, Taktik Militer, dan Dampak Sosial-Politik

Ketika kampanye terlalu berfokus pada perbedaan identitas, dapat memperburuk perpecahan antar kelompok. Hal ini dapat mengakibatkan konflik dan ketegangan sosial. Kampanye yang menciptakan batasan ketat berdasarkan identitas dapat mengarah pada diskriminasi terhadap kelompok lain. Fokus yang berlebihan pada identitas bisa membuat masalah struktural yang lebih besar, seperti ketidakadilan ekonomi atau sosial, terabaikan.

Media sosial menjadi platform utama dalam kampanye politik identitas, memungkinkan pesan untuk menyebar dengan cepat dan luas. Namun, juga ada risiko penyebaran informasi yang salah atau narasi yang memecah belah. Dampak dari media sosial ini sangat cepat tersebarluaskan di masyarakat. Hal ini tentu menjadi permasalahan besar bagi suatu kelompok yang berbeda antara kubu yang ada dipihak tersebut dan yang tidak. Media yang akan membawa citra sesuatu menjadi baik dan menjadi buruk. 

Baca Juga: Pilkada 2024 dan Relevansinya dengan Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf Tentang Negara

Salah satu risiko terbesar dari politik identitas adalah potensi untuk memperdalam perpecahan dalam masyarakat. Ketika fokus beralih ke perbedaan identitas, bisa muncul sikap “kami vs. mereka” yang dapat mengakibatkan konflik. Politik identitas kadang-kadang dapat mengarah pada stereotip negatif atau generalisasi terhadap kelompok tertentu, mengabaikan kompleksitas individu di dalamnya. Terkadang, fokus yang berlebihan pada identitas tertentu dapat mengabaikan masalah struktural yang lebih besar, seperti ketidakadilan ekonomi atau lingkungan, yang mempengaruhi banyak orang, terlepas dari identitas mereka. 

Politik identitas adalah fenomena yang tidak bisa diabaikan. Meskipun dapat memberikan suara kepada yang terpinggirkan dan meningkatkan kesadaran sosial, penting untuk mendekatinya dengan sikap moderat. Mengintegrasikan perspektif identitas ke dalam diskusi yang lebih luas tentang keadilan dan kesetaraan dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif. Dengan mengedepankan dialog dan kolaborasi antar identitas, kita bisa mengatasi tantangan yang muncul dan memanfaatkan peluang yang ada. 

Baca Juga: Best Practice Moderasi Beragama dari Papua, ke UIN Gus Dur: Bupati Kaimana Papua Barat Freddy Thei, Kristian yang menguliahkan “anaknya” di Kampus Islam

Agama sebagai kedok politik?

Di banyak negara, partai politik sering kali berbasis pada identitas agama, menggunakan simbol dan nilai agama dalam kampanye mereka. Hal ini dapat meningkatkan dukungan di kalangan pemilih yang merasa terhubung dengan nilai-nilai tersebut. Fokus pada identitas agama dapat mengabaikan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang lebih luas yang mempengaruhi semua kelompok, terlepas dari latar belakang agama.

Selama pemilu, kelompok agama sering kali mengorganisir mobilisasi untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Misalnya, organisasi-organisasi keagamaan mengadakan kegiatan penggalangan suara untuk mendukung calon yang dianggap mewakili nilai-nilai agama mereka. Kampanye melalui Lembaga keagamaan seperti penggunaan masjid, gereja atau tempat ibadah lainnya sebagai pusat kemapanye politik. Di Indonesia, sering kali ceramah atau pengajian yang juga membahas politik, mendorong jamaah untuk memilih calon tertentu, karena memiliki kekuatan jamaah yang besar hal ini sering dilakukan dalam kampanye belakangan ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, politik identitas telah menjadi sorotan utama di banyak negara. Sementara pengakuan terhadap keberagaman identitas dapat membawa perubahan positif, tantangan yang dihadapi juga tidak kalah besar. Di sinilah moderasi berperan penting. Pertama, moderasi membantu mencegah polarisasi yang ekstrem. Ketika masyarakat terjebak dalam perdebatan identitas yang tajam, sering kali muncul sikap “kami vs. mereka” yang dapat memecah belah. Dengan pendekatan moderat, kita bisa menciptakan ruang dialog yang lebih inklusif, memungkinkan berbagai suara didengar tanpa harus mengorbankan nilai-nilai bersama.

Baca Juga: Moderasi Beragama sebagai Upaya Mencegah Ekstremisme dan Radikalisme di Indonesia

Kedua, moderasi memungkinkan kita untuk mengintegrasikan berbagai perspektif. Politik identitas seringkali terfokus pada perbedaan, tetapi dengan moderasi, kita bisa mencari kesamaan dan membangun jembatan antar kelompok. Hal ini penting dalam menciptakan kebijakan yang adil dan berkelanjutan, yang tidak hanya menguntungkan satu kelompok, tetapi seluruh masyarakat.

Selanjutnya, moderasi mengurangi potensi kekerasan dan konflik. Dalam situasi di mana identitas menjadi senjata, risiko ketegangan pun meningkat. Pendekatan moderat dapat menurunkan suhu perdebatan dan mengedepankan dialog, sehingga konflik yang bisa saja meletus dapat dihindari. Akhirnya, politik yang moderat meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi. Ketika masyarakat merasa diwakili dengan adil, mereka lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Kepercayaan ini penting untuk stabilitas sosial dan politik jangka panjang.

Dalam dunia yang semakin terpecah, moderasi bukanlah solusi yang mudah, tetapi sangat diperlukan. Ini adalah panggilan untuk semua pihak agar lebih mendengarkan, berdialog, dan menemukan titik temu. Dengan cara ini, kita bisa membangun masa depan yang lebih harmonis dan berkelanjutan, di mana semua identitas dihargai tanpa mengorbankan persatuan.