Citra Vs Realitas: Gen Z Berdarah-Darah Bangun Citra di Media Sosial?

Penulis: Ika Amiliya Nurhidayah, Editor: Ibnu Salim

Digitalisasi yang semakin masif membuat Gen Z memiliki chemistry yang tidak biasa dengan teknologi dan media sosial. Mereka menjadikan Instagram, TikTok, dan Twitter sebagai ajang kurasi visual untuk menjunjung tinggi citra, mengekspresikan diri, bahkan menggali validasi sosial. Fenomena ini memantik Gen Z untuk membangun citra yang ideal, sebagaimana tendensi sosial yang terus menghantui mereka di dunia maya. Orang-orang melabeli mereka sebagai generasi yang aktif, kreatif, adaptif, serta label-label fantastis lainnya.

Namun siapa sangka jika ternyata terdapat sesuatu yang tersembunyi di balik potret kehidupan mereka yang nyaris sempurna? Di balik kungkungan media sosial, ada realitas hidup yang tidak selalu terlihat oleh mata. Mereka harus bekerja keras, bahkan “berdarah-darah,” untuk mempertahankan citra yang mereka bangun. Banyak dari mereka mengalami tekanan untuk terus mempertahankan standar citra ideal yang mereka bangun. Kondisi ini sering memicu rasa cemas berlebihan yang dikenal sebagai Fear of Other People’s Opinion (FOPO). FOPO membuat mereka takut terhadap kritik atau penilaian negatif dari orang lain, sehingga terus-menerus mengejar validasi sosial.

Baca juga:  Strategi dan Media Dakwah di Era Digital

Padahal dalam Islam, manusia diharuskan takut pada Allah SWT alih-alih takut kepada sesama manusia. Hal tersebut dijelaskan dalam penggalan Q.S. Al-Ma’idah ayat 44:

فلاتخشواالناس واخشون ولاتشترواباياتي ثمنا قليلا

Artinya: “Karena itu janganlah kamu takut kepadakepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.”

Pesan ini mengingatkan umat manusia, termasuk Gen Z, bahwa fokus utama mereka seharusnya bukan pada validasi sosial, melainkan pada tujuan hidup yang lebih hakiki, yaitu mencari keridhaan Allah SWT.

Fenomena ini diperkuat dengan survei American Psychological Association yang menyatakan bahwa, individu yang selalu ingin tampil sempurna di media sosial cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Oleh karenanya, demi mengikuti tren dan menciptakan personal branding yang ideal, Gen Z sering kali mengalami tekanan mental, depresi, dan tidak percaya diri. Lalu sebenarnya apa yang membuat Gen Z seberdarah-darah itu dalam mempertahankan citra di media sosial?

Dunia kerja merupakan salah satu tantangan terbesar Gen Z di balik kehidupan dunia mayanya yang penuh warna. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebanyak 9.89 juta penduduk Indonesia yang berusia 15-24 tahun terindikasi menganggur atau berasa dalam kategori Not Employment, Education, or Training (NEET). Lantas mengapa angka pengangguran di kalangan Gen Z bisa setinggi itu?

Baca Juga:  Transformasi Sosial dan Revolusi Digital: Dampaknya Pada Pendidikan dan Tenaga Kerja di Masa Depan

Ketatnya persaingan di dunia kerja dan keterbatasan persediaan lapangan kerja yang sesuai dengan minat dan skill yang mereka punya adalah alasannya. Mereka yang berambisi pada kesuksesan dengan bakat pada akhirnya akan terus menunggu pekerjaan tanpa kepastian. Mereka berusaha meningkatkan kualitas diri dengan skill baru agar tetap relevan di pasar kerja, dengan tetap menjaga citra di media sosial. Tekanan ini menimbulkan perasaan lelah, cemas, bahkan kehilangan tujuan.

Sedangkan mereka yang berorientasi pada materi akan berusaha mencari pekerjaan apapun yang menghasilkan uang. Dan keadaan itu pun tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap menunjukkan eksistensi di media sosial dengan gaya hidup glamor dan kekayaan berlimpah. Seperti fenomena yang muncul di TikTok akhir-akhir ini, di mana Gen Z memperlihatkan gaya hidup mereka yang glamor dan fashionable dengan pekerjaan yang hanya sebagai penjual gorengan misalnya. Fenomena ini menunjukkan betapa sebenarnya mereka berdarah-darah untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan betapa citra fantastis di media sosial tidak melulu merepresentasikan realitas kehidupan seseorang.

Baca Juga:  Peran Dosen dalam Transformasi Sosial dan Pengabdian Masyarakat Berbasis Moderasi Beragama

Kesenjangan antara citra dan realitas ini tentu menciptakan dilema yang mendalam bagi Gen Z. Media sosial tak ubahnya menjadi jalan keluar bagi mereka untuk melarikan diri dari kenyataan hidup, namun di sisi lain justru memperparah tekanan. Pada akhirnya, media sosial menjadi pedang bermata dua bagi Gen Z. Di satu sisi, media sosial menjadi wadah bagi mereka untuk menggali informasi, menunjukkan eksistensi, dan menjalin hubungan. Namun, di sisi lain, media sosial juga menekan mereka untuk selalu terlihat sempurna.

Kesadaran tentang kesenjangan antara citra dan realitas sangat penting bagi Gen Z. Media sosial memang menjadi alat yang efektif untuk berekspresi, tetapi seharusnya tidak menjadi sumber tekanan untuk selalu terlihat sempurna. Gen Z perlu mengingat bahwa hidup tidak selalu berjalan sempurna, dan keberanian untuk menunjukkan diri secara autentik adalah kunci menuju kebahagiaan yang sejati. Dengan memegang nilai-nilai spiritual dan kesadaran diri, Gen Z dapat menciptakan harmoni antara kehidupan digital dan dunia nyata.