Mengupas Dampak Kasus Bullying pada Kesehatan Mental Anak: Tantangan dan Solusi

Penulis: Refita Afiani, Editor: Ika Amiliya Nurhidayah

Bullying adalah tindakan di mana satu orang atau lebih mencoba untuk menyakiti atau mengontrol orang lain dengan cara kekerasan. Ada banyak jenis bullying baik dalam perbuatan fisik maupun verbal. Menyakiti dalam bentuk fisik, seperti memukul, menendang, mendorong dan sebagainya. Ada juga dalam bentuk verbal adalah menghina, membentak dan menggunakan kata-kata kasar.

Di era digital bentuk bullying pun beradaptasi sesuai dengan perkembangan zaman. Bullying dalam bentuk sosial seperti mengucilkan dan mengabaikan orang tidak lagi harus bertemu fisik. Di zaman yang serba teknologi ini bullying pun bisa melalui gadget, dan media sosial yang disebut cyberbullying. Bentuk perilaku bullying ini memanfaatkan perangkat komunikasi digital dan koneksi internet. cyberbullying yaitu salah satu jenis bullying baru yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti handphone, video camera, e-mail, dan web yang dapat memposting atau mengirim pesan-pesan yang mengganggu, mengancam dan mempermalukan yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain.

Banyak alasan mengapa seseorang melakukan bullying atau cyberbullying. Bisa karena pelaku bully mendapatkan kepuasan dan sensasi tertentu dari perbuatan menindas orang, karena ia menilai dirinya lebih kuat sehingga merasa berkuasa karena ada orang yang takut pada dirinya. Bisa jadi ia berpikiran, ia akan mendapat popularitas di sekolah karena ditakuti oleh siswa yang lainnya

Dampak dari bullying dan cyberbullying adalah membuat anak-anak korban merasa benci terhadap dirinya sendiri dan mereka merasakan ketakutan untuk menghadapi dunia luar sehingga mereka mengurung diri di rumah dan mengisolasi diri, mereka juga akan merasa depresi dan stres berkepanjangan yang mempengaruhi kesehatan jasmani dan kesehatan mental mereka di masa yang akan datang. Yang paling parah adalah mereka dapat nekat memutuskan untuk bunuh diri karena tidak tahan lagi atas semua beban berat yang mereka alami dan rasakan.

Baca Juga: Pendampingan SOP PPKS oleh PSGA LP2M, Membangun Pesantren Bebas Kekerasan Seksual

Dampak bullying bagi korban diantaranya depresi, menurunnya rasa percaya diri anak dengan begitu anak menjadi lebih pemalu dan mneyendiri, merasa terisolasi dalam pergaulan, dan yang paling parah adalah anak akan mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidupnya karena tertekan akibat bullying tersebut.

Meski di Indonesia belum ada angka pasti berapa banyak terjadinya kasus tindak perundungan di sekolah, ada indikasi kasus perundungan ini meningkat dari waktu ke waktu. Maka dari itu, mengingat akan bahaya dan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan bullying dan cyberbullying tersebut, hendaknya sebagai orang tua, guru, maupun masyarakat tidak boleh menganggap enteng dan sepele atas tindak kekerasan dalam bentuk ini. Kita dituntut untuk lebih peka dan peduli terhadap nasib masa depan putra-putri kita di masa yang akan datang (Dikutip dari berbagai sumber).

Dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam permasalahan korban perundungan memiliki kondisi mental yang kurang baik dibandingkan sebagian besar siswa, dan akan menjadi tidak sehat secara mental saat dewasa, terlepas dari apakah mereka pernah terlibat dalam perundungan di sekolah. Namun, beberapa temuan menunjukkan dengan kuat bahwa kesehatan mental anak-anak, pada kenyataannya, terkena dampak negatif dari keterlibatan mereka dalam penindasan.

Faktor penyebab bullying ini salah satunya bisa jadi dari keluarga, kurangnya keharmonisan di keluarga, kurangnya perhatian dari orang tua, ataupun si perundung ini pernah jadi seorang korban yang membuat pelaku bullying ini melakukan tindakan seperti kekerasan, hinaan dan lain-lainnya.

Jika bullying ini terus terjadi akan berdampak pada kondisi fisik dan psikis korban yang dimana membuat korban menjadi penyendiri, pendiam, takut, minder, bahkan bisa timbul pikiran untuk bunuh diri karena korban merasa tidak ada tempat dia yang aman dari pelaku bullying.

Sesuai regulasi, pelaku kekerasan terhadap anak dapat dijerat Pasal 80 (1) jo. Pasal 76 c UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta. Selain itu, terdapat pasal-pasal lain yang dapat menjerat pelaku bullying antara lain Pasal 351 KUHP tentang Tindak Penganiayaan, Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan, dan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tentang Perundungan yang Dilakukan di Tempat Umum dan Mempermalukan Harkat Martabat Seseorang. Lebih lanjutnya lagi ada juga pasal yang mengatur tentang tindak bullying yang mengarah ke pelecehan seksual yaitu Pasal 289 KUHP tentang Pelecehan Seksual.

Di dalam lingkungan keluarga, orang tua harus meningkatkan keharmonisannya dengan sang anak. Karena jika sampai sang anak merasa keluarganya sudah tidak harmonis lagi, ia akan kebingungan mencari tempat perlindungan dari bullying yang menimpa dirinya. Orang tua hendaknya pun jangan langsung ikut campur pada permasalahan sang anak. Biarlah dia sendiri yang menyelesaikan permasalahannya sendiri. Karena jika pelaku bullying sampai mengetahui bahwa si anak (korban) membawa orang tuanya untuk ikut campur pada permasalahan pribadinya, justru akan membuat pelaku semakin jadi melakukan bullying pada diri sang anak. Tetapi, membiarkan sang anak menyelesaikan permalahannya sendiri tanpa adanya bantuan moral, juga bukanlah pilihan yang tepat.

Baca Juga: Peran Moderasi Beragama dalam Memerangi Fenomena Bullying di Lingkungan Masyarakat Heterogen

Sebagai orang tua, mereka harus menanamkan rasa keberanian dan kepercayaan diri pada si anak untuk melawan bullying. Melawan dalam hal ini bukan berarti intimidasi melawan intimidasi. Melainkan korban melawan dengan cara tidak emosi ketika di-bully, dan menunjukan sikap bahwa dirinya bukanlah seseorang yang mudah untuk di-bully. Selain itu, orang tua pun perlu mengajarkan ilmu bela diri kepada si anak agar si anak ketika di-bully tidak mengalami luka fisik dan bisa membuat pelaku jera atas perbuatannya.

Dapat disimpulkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam permasalahan korban perundungan memiliki kondisi mental yang kurang baik dibandingkan sebagian besar siswa, dan akan menjadi tidak sehat secara mental saat dewasa, terlepas dari apakah mereka pernah terlibat dalam perundungan di sekolah. Namun, beberapa temuan menunjukkan dengan kuat bahwa kesehatan mental anak-anak, pada kenyataannya, terkena dampak negatif dari keterlibatan mereka dalam penindasan. Jadi sebaiknya peran orang tua dan guru juga harus lebih teliti, dan peduli terhadap anaknya.