Penulis: Nabilah Trinatasya, Editor: Sirli Amry
Dahulu, gerakan boikot telah terbukti berhasil dalam menjatuhkan rezim apartheid di Afrika Selatan. Dalam konteks ini, menekankan terkait penggencaran boikot terhadap produk-produk yang berafiliasi dengan Israel secara proporsional agar tidak merugikan ekonomi lokal. Seruan boikot dari konsumen dalam negeri terhadap produk atau merek yang terafiliasi dengan negara Israel semakin meningkat seiring eskalasi konflik antara Hamas dan Israel di wilayah Gaza. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina, yang mengimbau masyarakat Muslim untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk pendukung Israel.
Gerakan sosial global bernama Boycott, Divestment, and Sanction (BDS) juga mendukung aksi boikot terhadap Israel dengan tujuan menekan negara tersebut dari sisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Meskipun gerakan boikot memiliki dampak efektif terutama jika dilakukan terhadap produk impor langsung dari Israel, perlu ditekankan bahwa aksi boikot harus dilakukan secara bijak agar tidak merugikan perekonomian lokal.
Dari perspektif ekonomi, aksi boikot dapat membuka peluang usaha bisnis bagi para pengusaha lokal untuk melakukan substitusi terhadap produk-produk yang terkena boikot. Walaupun begitu, sektor UMKM di Indonesia masih membutuhkan waktu agar kualitas produk mereka dapat menyubtitusi produk-produk impor yang terkena boikot.
Baca Juga: Menguak Misi Terselubung: Strategi Israel dalam Konflik Palestina
Menilik kesempatan yang ada, aksi boikot juga dapat menjadi momentum dan peluang bagi UMKM untuk mengambil ceruk pasar yang sebelumnya diisi oleh produk impor. Meskipun demikian, keputusan konsumen berpartisipasi dalam aksi boikot banyak ditentukan oleh biaya yang akan mereka tanggung akibat boikot, serta akses mereka terhadap produk substitusi.
Dapat kita lihat bersama bahwa aliran dana yang jauh lebih besar didapat oleh Israel dari pinjaman luar negeri, penjualan migas, hingga transaksi perangkat lunak untuk gawai, sementara perusahaan yang terkena boikot memiliki lisensi domestik dan menyerap tenaga kerja lokal. Oleh karena itu, aksi boikot perlu disikapi secara bijak agar sasaran tujuan dari aksi bisa tercapai tanpa merugikan perekonomian lokal.
Menyikapi hal tersebut, banyak pula perspektif yang bermunculan sebagai reaksi dari adanya boikot tersebut. Dalam perspektif politik sendiri terlihat beberapa orang mendukung boikot produk Israel sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah Israel terkait konflik Palestina. Mereka berpendapat bahwa melalui boikot, tekanan dapat diberikan pada pemerintah Israel untuk mengubah kebijakan mereka terkait pendudukan dan perlakuan terhadap rakyat Palestina.
Hampir sama dalam pandangan politik, perspektif ekonomi memandang bahwa boikot sebagai cara untuk mengurangi dukungan finansial terhadap entitas yang mereka percayai melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka berharap bahwa dengan mengurangi permintaan terhadap produk Israel, akan ada pengurangan pendapatan bagi perusahaan-perusahaan Israel yang terlibat dalam kegiatan yang dipandang kontroversial.
Baca Juga: Mengulik Makna di Balik Fenomena Maraknya Emoji Semangka dan Palestina
Namun, ada juga kritik terhadap boikot produk Israel. Beberapa orang berpendapat bahwa ini bisa merugikan orang-orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut, tanpa memberikan jaminan bahwa itu akan mengubah kebijakan pemerintah Israel. Selain itu, ada yang menyatakan bahwa hal itu dapat menghambat dialog dan upaya perdamaian antara kedua belah pihak.
Selain itu, diskusi tentang boikot produk Israel juga terlihat mencerminkan kompleksitas hubungan internasional dan geopolitik. Negara-negara dan entitas lainnya mungkin memiliki kepentingan politik dan ekonomi tertentu dalam memilih apakah akan mendukung atau menentang boikot tersebut. Hal ini termasuk bagian dari kepentingan dan implikasi global.
Dalam ranah moderasi beragama sendiri memandang bahwa konflik boikot produk Israel dengan melibatkan pendekatan yang bijaksana dan berwawasan luas terhadap isu tersebut. Penekanan pada dialog dan pemahaman dapat menjadi salah satu langkah yang bisa dilakukan dalam menghadapi konflik dari berbagai pihak yang terlibat. Hal ini termasuk mendengarkan perspektif yang berbeda-beda, memahami akar masalah, dan mencari solusi secara bersama-sama. Sikap terbuka terhadap suatu masalah dan terlibat dalam diskusi juga termasuk sikap menghargai kepada setiap manusia. Seseorang harus bisa menghormati kehidupan setiap individu, tanpa memandang agam, etnis, atau latar belakang lainnya.
Penggunaan boikot sebagai alat perdamaian. Boikot produk Israel atau dari negara lain merupakan hak individu atau kelompok, namun harus dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya secara luas. Moderasi agama akan menekankan bahwa boikot harus dilakukan secara damai dan bertujuan untuk mendorong perubahan positif, bukan untuk meningkatkan ketegangan atau membenci pihak lain.
Pengembangan solusi yang berkelanjutan. Moderasi agama memandang pentingnya mencari solusi jangka panjang yang berkelanjutan untuk konflik, termasuk yang terkait dengan boikot produk. Hal ini mungkin melibatkan upaya diplomasi, negosiasi, dan pembangunan kepercayaan antara kedua belah pihak.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip moderasi agama ini, diharapkan dapat tercipta pendekatan yang lebih terbuka, inklusif, dan damai dalam menangani konflik boikot produk Israel atau konflik-konflik serupa di masa depan.