Urgensi Memahami Darah Kewanitaan dalam Perspektif Islam

Penulis : Selvi Helena Putri, Editor : Windi Tia Utami

Sudah menjadi fitrah, bahwa perempuan dan laki-laki adalah dua pribadi yang memiliki karakteristik berbeda baik secara mental maupun fisik. Secara mental, kebanyakan perempuan lebih lemah lembut dan cenderung mengedepankan perasaan. Sedangkan dari segi fisik, perempuan memiliki organ yang berbeda dengan laki-laki terutama pada organ reproduksi. Perbedaan lainnya terletak pada beberapa siklus yang tidak dialami oleh  laki-laki seperti menstruasi, melahirkan, dan menyusui.

Salah satu siklus yang hanya dialami oleh perempuan ialah keluarnya beberapa jenis darah secara alamiah dari organ kewanitaan. Akan tetapi, realita di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak perempuan yang belum mengetahui dan tidak dapat membedakan jenis-jenis darah tersebut. Banyak dari mereka yang selalu menghukumi bahwa setiap darah yang keluar adalah darah haid atau menstruasi. Padahal jika dicermati secara lebih teliti, tidak semua darah yang keluar secara alami dari organ kewanitaan merupakan darah haid. Sekilas terlihat sepele, namun bagi umat Islam hal tersebut dapat berimplikasi sangat luas terutama dalam hal sah atau tidaknya suatu ibadah. 

Islam telah mengatur hukum yang berkaitan dengan darah organ kewanitaan. Tiga jenis darah tersebut adalah darah haid (menstruasi), istihadhah, dan nifas. Pembahasan mengenai ketiga jenis darah tersebut merupakan persoalan penting bagi seorang muslim utamanya perempuan. Sebab, hal tersebut berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari para perempuan serta ibadah yang mereka lakukan. Sebagai contoh, darah haid dan nifas merupakan darah kotor yang menjadikan seorang perempuan tidak boleh mendirikan shalat, masuk masjid, dan melakukan ibadah-ibadah lainnya. Sedangkan ketika istihadah, seorang wanita tetap wajib shalat dan boleh melaksanakan ibadah-ibadah lainnya. Perkara ini sangat penting untuk dipahami demi kesempurnaan ibadah. Karena dalam sebagian besar ibadah, umat Islam diwajibkan untuk suci dari najis, serta bebas dari hadats, baik hadats besar maupun kecil. 

Salah satu tanda baligh perempuan adalah keluarnya darah haid. Dalam Islam, batasan waktu haid paling sedikit adalah sehari semalam dan paling lama adalah lima belas hari lima belas malam. Namun, umumnya haid terjadi selama enam sampai tujuh hari. Dalam kondisi haid, perempuan tidak diperbolehkan untuk shalat, thawaf, puasa, menyentuh mushaf Al-qur’an, masuk masjid, hingga berhubungan suami istri. Ciri-ciri darah haid ditandai dengan warnanya yang merah terang di hari-hari awal menstruasi. Apabila siklusnya lebih singkat, maka warnanya berubah menjadi merah muda. Sementara itu, ada juga darah haid yang pekat agak kehitaman. Hal ini disebabkan darah tersimpan di rahim, mengalami oksidasi, hingga perlahan-lahan berubah warna menjadi agak kehitaman. 

Ketika masa haid sudah selesai, maka diwajibkan untuk mandi besar atau menyucikan diri. Urutan mandi wajib setelah haid yaitu niat, sebelum mengguyurkan air ke seluruh tubuh harus dimulai dengan niat mandi untuk menghilangkan hadats besar atau hadats kecil. Lalu membersihkan farji dan bagian tubuh lainnya yang terkena kotoran, disunahkan berwudhu terlebih dahulu sebelum mandi. Kemudian yang terakhir adalah menyiramkan air dengan rata ke seluruh tubuh dari kepala hingga ujung kaki dengan seksama, karena tidak boleh ada sehelai rambutpun yang tertinggal tak tersiram air.

Adapun jenis darah yang kedua adalah darah istihadhah. Temen-temen udah tau belum sih apa itu darah istihadhah? Darah istihadhah dapat keluar sewaktu-waktu dan bisa jadi disebabkan karena penyakit atau sebagainya. Sebagai contoh, para ulama menyatakan bahwa masa haid paling lama yaitu lima belas hari lima belas malam. Apabila darah masih keluar dari rahim melebihi kurun waktu tersebut maka sisa darah setelah hari itu dihukumi darah istihadhah. Perempuan yang keluar darah istihadhah tetap diperbolehkan untuk  berpuasa, wudhu, shalat, thawaf, masuk masjid dan memegang mushaf Al-Qur’an. Tetapi harus menggunakan syarat-syarat wajib bersuci untuk melakukan ibadah shalat fardhu. 

Syarat bersuci bagi perempuan istihadhah yaitu dengan cara membersihkan najis pada organ kewanitaan, beristinja’ dengan benar, meminimalisir darah yang keluar menggunakan pembalut bersih dengan celana dalam yang ketat, berwudhu dengan catatan memasuki waktu adzan dan melakukannya untuk satu shalat fardhu, dan yang terakhir yaitu mengerjakan shalat dan tidak boleh menunda waktu shalat setelah berwudhu. Untuk perempuan yang mengalami istihadhah, jika waktu melakukan satu shalat fardhu merasakan darahnya keluar dari organ tubuh, tidak perlu mengulangi bersuci dari awal, dengan catatan telah melakukan langkah-langkah syarat bersuci dengan benar.  

Adapun jenis darah yang terakhir adalah darah nifas. Ketika perempuan melahirkan, banyak darah yang keluar dari rahimnya. Lazimnya, masa nifas adalah sekitar empat puluh hari dan paling lama enam puluh hari. Adapun ketentuan perempuan nifas tidak berbeda dengan perempuan haid. Perempuan yang sedang mengalami nifas tidak diperbolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf Al-Qur’an, hingga berhubungan suami istri. Perbedaan darah haid dan nifas ialah darah nifas lebih banyak dan lebih deras jika dibandingkan darah haid. Selain itu, warna darah nifas tidak terlalu pekat (tidak terlalu hitam), namun baunya lebih tajam daripada darah haid. 

Melalui uraian di atas, dapat dipahami bahwa pengetahuan terkait jenis-jenis darah yang keluar dari organ kewanitaan merupakan hal yang sangat krusial, karena berkaitan erat dengan sah atau tidaknya ibadah seorang muslimah. Untuk itu, penting bagi setiap muslim baik perempuan maupun laki-laki untuk memperdalam pemahaman terkait permasalahan tersebut melalui berbagai forum kajian fiqh muslimah atau bisa juga dengan mengakses berbagai sumber hukum Islam kredibel yang tersedia di internet, agar keilmuan dan ibadah sebagai seorang muslim semakin kaffah. Wallahu A’lam.