Penulis : Rizal Maulana, Editor : Ibnu Salim
Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak dan remaja. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube tidak hanya menawarkan berbagai fitur menarik untuk terhubung dengan teman dan mengekspresikan diri, tetapi juga membawa potensi bahaya yang perlu diwaspadai.
Kehadiran media sosial sering kali mengubah hal-hal yang bersifat pribadi menjadi seolah-olah milik publik, termasuk kehidupan anak-anak. Banyak orang tua yang tanpa sadar ikut memamerkan momen-momen menggemaskan anak-anak mereka, menciptakan beragam unggahan yang menghibur netizen dan membuat mereka merasa gemas. Sayangnya, tanpa disadari, tindakan ini juga dapat menimbulkan risiko privasi dan keamanan bagi anak-anak.
Media sosial dapat mempengaruhi perkembangan emosional dan sosial anak-anak serta remaja. Mereka sering kali terpapar pada standar kecantikan dan gaya hidup yang tidak realistis, yang dapat mempengaruhi citra diri dan kepercayaan diri mereka. Selain itu, paparan terhadap konten yang tidak sesuai umur atau negatif dapat memengaruhi perkembangan mental dan perilaku anak-anak.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memberikan pendampingan dan edukasi tentang penggunaan media sosial yang bijak. Dengan memahami potensi risiko dan dampak media sosial, orang tua dapat membantu anak-anak mereka menavigasi dunia digital dengan lebih aman dan sehat, memastikan bahwa pengalaman mereka di media sosial tetap positif dan bermanfaat.
Menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kebiasaan ini secara tidak langsung membuka peluang bagi eksploitasi anak. Dalam pengamatan Komisi, fenomena ini telah menjadi tren sejak 2-3 tahun terakhir. Dampak negatifnya terlihat dari meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat oleh Komnas Anak.
Pada periode Januari-Juni 2019, terdapat 420 kasus kekerasan terhadap anak, di mana 86 kasus di antaranya terkait dengan ekspos anak di media sosial. Ini berarti sekitar 30 persen kasus kekerasan pada periode tersebut terpicu oleh eksploitasi melalui unggahan laku-laku menggemaskan anak di layar gawai. Praktik mengekspose anak di media sosial juga meningkatkan risiko anak menjadi korban kejahatan seperti penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain yang dapat mengancam keamanan dan kesejahteraan mereka.
Contoh nyata eksploitasi anak seperti yang terjadi di Brebes, Jawa Tengah, di mana seorang ibu membuat konten TikTok yang menampilkan bayinya sedang mengonsumsi minuman keras, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Video tersebut viral dan menuai kecaman luas dari masyarakat dan lembaga perlindungan anak seperti KPAI, yang mengecam tindakan tersebut sebagai eksploitasi anak yang tidak bertanggung jawab.
Dampak eksploitasi anak melalui konten media sosial dapat berbahaya bagi anak-anak, baik secara fisik, mental, maupun emosional. Dampak fisiknya bisa mencakup risiko cedera, penyakit, dan bahkan kematian. Sementara dampak mental dan emosionalnya meliputi trauma, stres, kecemasan, depresi, dan hilangnya harga diri. Kasus-kasus eksploitasi semacam ini semakin marak terjadi dan menjadi perhatian serius yang perlu ditangani bersama-sama oleh orang tua, pendidik, masyarakat, dan platform media sosial.
Untuk mengakhiri, eksploitasi anak melalui konten media sosial merupakan perilaku yang merugikan anak-anak dengan potensi konsekuensi jangka panjang yang serius. Orang tua dan orang dewasa lainnya harus meningkatkan pemahaman mereka tentang bahaya eksploitasi anak dan mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi mereka. Perlindungan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga masyarakat luas dalam menghadapi tantangan digital zaman sekarang.