Program Sekolah Ramah Anak (SRA) Dan Kontribusi Pemerintah Dalam Menurunkan Tingkat Kekerasan Terhadap Anak Di Indonesia

Penulis : Sinta Lestari, Editor : Azzam Nabil H.

Salah satu bentuk kejahatan yang akhir-akhir ini kerap terjadi adalah tindak kekerasan terhadap anak. Menurut Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia menyatakan bahwa jumlah kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 29.883 kasus kekerasan, dengan jumlah 2.260 kasus kekerasan terhadap balita; 6.637 kasus kekerasan terhadap anak (usia 6-12 tahun), dan 11.324 kasus kekerasan terhadap anak dengan rentang usia 13-17 tahun. Angka ini merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan jumlah kekerasan terhadap anak berusia dewasa hingga orang tua. Adapun kekerasan terhadap anak ini realitanya bukan hanya dilakukan oleh orang asing, namun justru dari lingkungan terdekat seorang anak, seperti guru, teman sebaya, pacar, saudara, atau bahkan orang tuanya sendiri.

Disamping itu, perlakuan kekerasan terhadap anak seringkali menyerang anak anak dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SMA. Di tahun 2023, ada 6.915 kasus kekerasan menyerang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar; 7.597 kasus kekerasan di tingkat SMP; dan 9.612 kasus kekerasan di tingkat SMA. Banyaknya kasus ini didominasi oleh kasus kekerasan yang dilakukan di lingkungan rumah tangga, yakni sebanyak 9.421 kasus, dan 1.687 kasus yang terjadi di lingkungan sekolah. Kasus-kasus kekerasan tersebut bukan hanya dilakukan dalam bentuk kekerasan fisik ataupun seksual, namun juga kekerasan psikis, eksploitasi, pelantaran, trafficking, dan lain sebagainya. Melihat banyaknya kasus ini, pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk menekan angka kekerasan yang terjadi, khususnya terhadap anak di lingkungan pendidikan. Salah satu langkah preventif yang telah dilakukan oleh pemerintah, khususnya khususnya oleh Kementerian PPA yaitu menerbitkan permen PPPA No. 8/2014 tentang kebijakan program Sekolah Ramah Anak.

Baca Juga: Kesenjangan Digital Di Daerah Pelosok Sebagai Tantangan Peningkatan Mutu Pendidikan

Sekolah ramah anak (Child-Friendly School/ CFS) dapat diartikan sebagai satuan lembaga pendidikan yang dapat memfasilitasi dan memperdayakan potensi anak agar mereka mampu untuk mengembangkan potensi yang dimiliki serta terlindungi dari tindak kekerasan dan diskriminasi sehingga dapat menciptakan sekolah yang aman, kondusif, dan edukatif. Pada intinya, Sekolah Ramah Anak memberikan hak anak secara penuh serta pengelolaan kelas maupun sekolah. Tujuan sekolah ramah anak yaitu mendorong penerapan disiplin positif untuk membantu siswa dalam memahami dan mengambil tindakan yang tepat saat mereka melakukan kesalahan, bukan sekedar memberlakukan hukuman atau sanksi. Di samping itu, Sekolah Ramah Anak juga bertujuan dalam mewujudkan satuan pendidikan yang dapat menjamin dan memenuhi hak-hak anak serta mampu untuk memberikan perlindungan kepada anak di Indonesia sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional yang termuat dalam UUD 1945, UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak.

Tidak berhenti sampai disitu saja, tingginya kasus kekerasan terhadap anak ini membuat pemerintah merasa geram, hingga ke tingkat kepresidenan. Sehingga terbitlah PERPRES Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap  Anak. Dikutip dari JDIH BPK RI, menjelaskan bahwa Perpres ini mengatur mengenai penetapan Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA) yang memuat arah kebijakan, strategi, fokus strategi, dan intervensi kunci, serta target, peran, dan tanggung jawab kementerian/lembaga. pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan masyarakat untuk mewujudkan penghapusan kekerasan terhadap anak. Stranas PKTA memuat: 1) kondisi kekerasan terhadap anak di Indonesia; 2) arah kebijakan dan strategi penghapusan kekerasan terhadap anak; dan 3) kerangka kelembagaan dan koordinasi.

Peraturan-peraturan tersebut nampaknya memberikan dampak yang cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia menyatakan bahwa jumlah kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2024 sebanyak 6.902 yang mana apabila ditinjau dari segi umur yaitu 898 kasus kekerasan terhadap anak balita; 2.495 kasus kekerasan terhadap anak usia 6-12 tahun; dan 4.301 kasus kekerasan terhadap anak remaja usia 13-17 tahun. Disisi lain, kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan atau sekolah juga menurun, yakni hanya 826 kasus.

Baca Juga: Belajar dalam Bersikap : Akhlak kepada Guru

Data dari SIMFONI PPA 2023-2024

(SIMFONI-PPA (kemenpppa.go.id))

Dari artikel ini, kita dapat melihat bahwa langkah pemerintah dalam menekan kasus kekerasan terhadap anak sebenarnya sudah optimal. Namun, perlu adanya kolaborasi yang lebih dari seluruh elemen masyarakat hingga pemerintah agar dapat terus menurunkan kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Bebeberapa langkah-langkah kolaborasi tersebut seperti misalnya dari lembaga pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi dapat mengerahkan mahasiswa atau tenaga pengajarnya untuk dapat memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait perilaku yang baik terhadap anak, bagaimana cara mendidik anak tanpa melakukan kekerasan, dan berbagai hal lain yang dapat menumbuhkan pemahaman, mulai dari orang tua, guru, dan anak-anak itu sendiri.

Dengan adanya kolaborasi yang baik, anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dengan bebas tanpa adanya kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, serta dapat mendukung perkembangan anak secara holistik, baik dari segi beragama, bermasyarakat, dan sebagainya. Sebab, anak-anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dijaga serta harus terus dikembangkan potensinya agar dapat membawa negara ini menuju Indonesia emas di tahun 2045.