Semangat Kemerdekaan ke-79: Refleksi Tradisi dan Tantangan Masa Kini

Penulis: Muhammad Mufid, S.H.I., M.Pd.I. (Dosen UIN K.H.Abdurrahman Wahid Pekalongan), Editor: Ika Amiliya Nurhidayah

Malam itu, duduk di depan rumah sambil menikmati secangkir kopi panas ditemani rokok kretek, teringat masa kecil yang bahagia, anak-anak muda asik berkreasi menghias jalan raya menyambut 17 Agustusan,  dengan membawa berbagai peralatan, mulai dari cat tembok, lampu warna warni, hingga bendera merah putih, para ibu juga tidak kalah, berkumpul di satu rumah sambil merakit hiasan yang akan dipasang, membuat makanan tradisional seperti lemper, nogosari untuk sajian penghapus lelah, sesekali teriakan dan canda tawa bahkan ngerumpi menjadi nada dering bagi kaum hawa itu. Aku termenung dan mencoba menyakinkan diri betapa pentingnya perayaan tersebut.

Tersadar dari lamunan, aku teringat kembali amanah dan tanggung jawab profesi, mulai dari membuat rencana pembelajaran,  penyamaan persepsi rumpun keilmuan hingga beragam proses administrasi yang harus diselesaikan. Apakah yang disampaikan Mas Menteri pendidikan Nadiem Makarim bahwa mengurangi beban administrasi merupakan upaya mengembalikan semangat nasionalisme? Namun realitasnya merayakan pun tidak terlebih mengembangkan semangat merah putih. Bahkan temuan hasil survei populix 65% generasi muda mengalami penurunan semangat nasionalisme, saya harus bagaimana?

Kitapun diingatkan oleh Kemenag melalui moderasi beragama untuk memiliki komitmen kebangsaan dan rasa nasionalisme. Mencoba memahami dengan beragam indikator, pemetaan, tolak ukur, hingga berbulan-bulan sampai kepribadian dipertaruhkan oleh stigma anggapan. Terlebih jadi diri kita terhanyut dalam angka kajian penelitian, bisa jadi secara metodologi dapat dipertanggungjawabkan namun secara realitas sosial pemahaman masyarakat berkenaan hal tersebut tidak terfikirkan. Saya harus bagaimana?

Baca Juga: Polemik Pelepasan Hijab Paskibraka Nasional dalam Perspektif Moderasi Beragama

Bintangpun menemani di malam yang sunyi, hawa dingin mulai mengitari, tiba- tiba dari pintu rumah terdengar suara istri, pikirku akan dibawakan jagung bakar untuk pendingin rasa lapar, ternyata menanyakan kabar tentang kurikulum merdeka belajar. Iya, istriku seorang pengajar yang teladan, pagi siang sore malam begadang mengerjakan laporan-laporan, hingga masa depan anak dipertaruhkan dengan permainan game online yang dianggap hanya sekedar hiburan, aku harus bagaimana?

Mungkin tepat apa yang disampaikan W.R. Supratman dalam lagu Indonesia Raya, bangunlah jiwanya terlebih dahulu baru dilanjutkan bangunlah ragaya. Jika jiwa sudah dipupuk sejak dini, selanjutya tertatanam prilaku kecintaan terhadap tanah air dan pada akhirya terbentuk kebiasaan, rasanya meninggalkan kebiasaan tersebut menjadi hal sulit. Sebagaimana kebiasaan di pagi hari ditemani secangkir kopi tanpanya ada kegelisahan hati. Abdullah Nashih Ulwan praktisi dan pemikir dalam dunia pendidikan mengatakan, pembiasaan adalah cara dan upaya paling praktis dalam pembinaan pembentukan kepribadian. Sehingga tidak mengherankan apa yang dilakukan oleh anak-anak dalam merayakan hari kemerdekaan, mulai dari rasa cinta yang tertanam hingga muncul beragam kreasi inovasi dalam menghiasi jalan jalan desa, memberikan pemandangan yang terbaik bagi orang yang melintasinya, dan pada akhirnya menjadi pemuda dengan beragam kecakapanya ingin mengabdi berkontribusi untuk tanah pertiwi.

Anak-anak masih asik saling berkomunikasi dan koreksi, ketepatan membuat kreasi dengan langkah aksi yang pasti, mencoba berasumsi dari beragam arah hingga membandingkan hasil kreasi agar tidak plagiasi, menaruh coretan coretan sebagi bentuk inovasi, sungguh pemandangan yang indah sekali. Bukankah dalam cakrawala pendidikan hal ini senada dengan tuntutan capaian pembelajaran peserta didik di abad 21 ini? Mulai dari kemampuan komunikasi, kolaborasi, berinovasi hingga kemampuan berfikir kritis dengan memberikan penawaran solusi. Dapatkah saya katakan kegiatan perayaan tersebut merupakan sekolah alamiah dari anak-anak untuk modal ketika dewasa nanti? Belum lagi kegiatan perayaan alamiah lainya yang membentuk jati diri. Terkadang hal tersebut dianggap tradisonal dan ketinggalan zaman, namun memiliki relevansi bagi generasi milenial saat ini, yang secara tidak sengaja tertuduh apatis oleh beragam capaian pembelajaran.