Penulis : Rizal Kurniawan, Editor : Windi Tia Utami
K.H. Abdul Hamid atau lebih dikenal Mbah Hamid lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang Jawa Tengah. Ayahnya bernama Abdullah bin Umar seorang tokoh Islam yang rajin dan taat pada agama. Sedangkan ibunya bernama Raihannah, putri dari Kyai Shiddiq. Anak keempat dari 12 bersaudara yang dilahirkan dari rahim Ibu Nyai Raihannah. Mu’thi kecil bukanlah anak manis yang sehari-harinya diam di rumah, melainkan tumbuh sebagai anak yang lincah, mudah bergaul dan nakal. Meskipun begitu, Mu’thi rajin membantu orang tuanya.
Dalam usianya yang masih kecil, ia dididik oleh ibunya dan membiasakan shalat lima waktu berjamaah. Bahkan, saat Mu’thi ketinggalan shalat berjamaah, ia menangis sehingga sang ibu mengulangi shalatnya dan berjamaah bersamanya. Mu’thi juga sering disuruh ibunya membawakan oleh-oleh untuk disampaikan kepada gurunya dan ia merasa senang sekalipun oleh-olehnya sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa masa kecil Mu’thi bersih dari sifat sombong.
Masa Pendidikan Dan Karomahnya (1926-1927)
Pada usia tujuh tahun, Mu’thi dididik dan dibimbing sendiri oleh ayahnya dalam belajar Al-Qur’an dan dasar hukum Islam. Pada usia tujuh tahun itu pula ia sudah hafal nadham balaghah Jawahir Al-Maknum. Kemudian dalam usia sembilan tahun ia sudah mulai menghafalkan kitab gramatika bahasa dan sastra Arab Alfiyah Ibnu Malik yang juga dengan bimbingan langsung dari ayahnya. Sebagai orang yang taat beragama, ayah maupun ibunya memang mengharapkan agar anaknya bisa menjadi orang yang berbudi luhur di kemudian hari. Pada usia 12 atau sekitar tahun 1926-1927, ia dipondokkan ke Pesantren Kasingan Rembang. Pesantren ini diasuh oleh KH Kholil bin Harun, mertua KH Bisri Musthofa. Di Pesantren Kasingan ia mendalami ilmu gramatika bahasa dan sastra Arab seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah dan Arudh selama kurang lebih 1,5 tahun. Pada usia 13, ia diperintah ayahnya dan mengabdi kepada kakeknya Kyai Muhammad Shidiq (Mbah Siddiq) di Jember, Jawa Timur.
Mula-mula pada saat di Pondok Tremas Kyai Hamid hidup prihatin karena kiriman ayahnya hanya cukup untuk makan nasi tiwul. Celakanya, lokasi warung langganan Hamid jauh dari pondok. Apa boleh buat kaki melangkah setiap hari dengan memakai celana panjang dan bersepatu persis halnya orang berangkat ke kantor. Sepatunya disemir dengan mengkilap. Lima tahun di sana, beliau ditunjuk sebagai lurah pondok. Kala itu ia sekurun waktu dengan Kyai Abdul Ghofur Pasuruan, Kyai Harun Banyuwangi, dan Kyai Masduki Lasem. Selain sebagai lurah pondok, Kyai Hamid muda juga mengajar Ilmu Fiqih, Hadits, Tafsir dan sebagainya. Sehingga ia pun mulai mendapatkan bisyarah dan tidak memerlukan lagi kiriman dari orang tuanya. Perubahan nama Abdul Mu’thi menjadi Abdul Hamid ketika beliau sedang mondok ke Kasingan Rembang sekitar usia 12-13 tahun.
Kyai Hamid Menikah (1940)
Di usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri yakni Nyai H Nafisah bin KH Ahmad Qusyairi bin KH Muhammad Shiddiq. Pernikahan mereka berlangsung pada hari Kamis 12 September 1940 M. Disebutkan dalam undangan akad nikah dilangsungkan di Masjid Jami Pasuruan pukul 13.00 WIB, kemudian dilanjutkan walimah pada pukul 14.00 WIB. Namun, hal ini tidak sesuai rencana karena mempelai pria terlambat datangnya. Terpaksa acara walimah dimulai saja meski tanpa kehadiran mempelai pria. Baru pada pukul 17.00 WIB, rombongan yang ditunggu datang juga. Akibatnya, para tamu sudah pulang dan akad nikah disaksikan oleh beberapa keluarga saja. Keterlambatan itu karena ajakan Mbah Ma’shum untuk ziarah terlebihdahulu ke makam Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.
Dari perkawinan ini mereka dikaruniai lima orang anak, yakni Muhammad Nu’man, Muhammad Nasih, Muhammad Idris, Anas, dan Zainab. Dua yang disebut terakhir meninggal sewaktu mereka masih kecil. Kyai Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan keluarganya dengan tidak mudah. Selama beberapa tahun beliau harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Sedangkan untuk menghidupi keluarganya, tiap hari beliau mengayuh sepeda sejauh 30 kilometer pulang pergi, sebagai blantik sepeda. Sebab, kata Kyai ldris, pasar sepeda waktu itu ada di Desa Porong, Pasuruan, 30 kilometer ke arah barat Kota Pasuruan. Kendati demikian tidak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan beliau sedemikian rupa dapat menutupinya sehingga, tak ada orang lain yang mengetahui. “Orang tua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, dia tidak lekas naik derajatnya”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.
Kyai Hamid memang sosok yang rajin belajar. Beliau sering membeli kitab untuk dipelajari sendiri. Bahkan, setelah berkeluarga di Pasuruan, beliau masih mengaji kepada Habib Ja’far bin Syichan Asegaf, seorang tokoh ulama yang sudah terkenal waliyullah. Sewaktu berada di Pasuruan Kyai Hamid mempunyai rutinan yakni setiap sore menghadiri pertemuan pengajian dengan metode mudzakaroh yang diselenggarakan oleh Habib Ja’far bin Syichan pukul 16.30-19.30 WIB. Kyai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri tertentu yang dipilih sendiri. Selain itu, khususnya di masa akhir kehidupannya, hanya mengajar sepekan sekali untuk umum.
Tirakat dan Sifat Zuhud
Kyai Hamid merupakan sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufiannya bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. Kyai Hamid gemar mengenakan baju dan bersorban serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kyai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial Islam terhadap kaum dluafa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Kiai Hamid memang bukan ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, dapat memperkirakan, sikap sosial beliau bukan sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang egoistis, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Hal itu menunjukkan betapa ajaran sosial Islam sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya. Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kyai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, juga memberikan bantuan secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anak.
Meninggal Dunia (1982)
Mbah Hamid wafat pada hari Sabtu 25 Desember 1982 M tepat pada pukul 03.00 WIB atau dini hari. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada usia 70 tahun dalam hitungan Hijriah. Seorang tokoh besar, tokoh panutan meninggalkan umatnya. Inalilahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kabar pun segera menyebar Kala itu umat datang berbondong-bondong untuk melayat ke rumah duka sejak pagi. Mereka berasal dari berbagai penjuru. Umumnya seperti tidak percaya Kyai Hamid wafat. Melihat bayaknya pelayat keluarga tidak mau mengambil risiko, khawatir keranda rusak karena bakal jadi rebutan, pelayat. Menjelang ashar keranda di bawa ke masjid. Keranda itu berjalan dari satu tangan ke tangan yang lainnya karena saking padatnya pelayat, sehingga tidak bisa berjalan. Terjadilah tarik menarik keranda yang hendak keluar lewat gerbang barat atau timur, dari rumah ke masjid dibutuhkan waktu hingga dua jam. Jamaah yang menyalati melebar tidak hanya sampai masjid dan alun-alun, tetapi terus ke perempatan PLN sekitar 100 meter dan memenuhi jalan niaga hingga ke ujung utara dan ruas-ruas jalan Nusantara sepanjang 1 kilometer. KH Ali Ma’shum bertindak sebagai imam shalat. Setelah shalat Asar Kyai Hamid disemayamkan di kompleks makam sebelah barat Masjid Jami Al-Anwar Pasuruan. Posisi makamnya di antara makam Habib Ja’far bin Syichan Assegaf (guru) KH Achmad Qusyairi (mertua) dan KH Ahmad Sahal (ipar).
Keberadaan makam Kyai Hamid membawa berkah terhadap kemakmuran masjid dan pedagang di sekitar makam. Setiap hari makam Kyai Hamid tidak pernah sepi dari peziarah lokal atau luar kota. Pada umumnya para peziarah Walisongo Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat tidak pernah melewatkan kesempatan untuk ziarah ke makam KH Abdul Hamid. Tidak cuma itu, semenjak ada makam KH Abdul Hamid setiap malam Jumat Legi kawasan sekitar masjid dan alun-alun Kota Pasuruan menjadi ramai.