Penulis : Lainuvar, Editor : Sirli Amry
Theodor Noldeke merupakan salah satu tokoh orientalis asal Harburg yang masuk dalam kategori perintis dalam mengkritik Al-Qur’an. Artinya, ia termasuk tokoh pertama yang mengkritik kitab suci umat Islam tersebut dan kemudian tokoh-tokoh orientalis setelahnya mengikutinya. Noldeke termasuk tokoh terkemuka dalam kajian studi Al-Qur’an berdasarkan perspektif orientalisme. Studi Al-Qur’an dalam pandangan Noldeke yakni dengan melacak sumber Al-Qur’an dari dua agama besar yaitu Yahudi dan Nasrani. Oleh sebab itu, Noldeke meragukan keaslian Al-Qur’an yang dianggapnya merupakan jiplakan Nabi Muhammad dari kitab Yahudi dan Nasrani.
Inti kritik Noldeke atas Al-Qur’an disimpulkan pada dua garis besar; Pertama persoalan mengenai pemaknaan kata “ummi” dalam Al-Qur’an yang disematkan pada Nabi Muhammad SAW. Kedua yakni persoalan lanjutan dari kritik pertama, artinya Noldeke menganggap bahwa Nabi Muhammad telah dipengaruhi oleh Yahudi dan Nasrani. Tidak seperti pemahaman yang telah menyebar luas secara umum dikalangan umat muslim bahwa Nabi Muhammad adalah seorang Nabi yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Status keummian Nabi Muhammad telah santer terdengar karena sebagai bentuk pondasi keyakinan bahwa Nabi Muhammad tidak mengarang ajarannya sendiri, tetapi benar-benar murni dari Allah.
Status “ummi” yang disematkan pada Nabi Muhammad juga sebagai bentuk kemukjizatan Al-Qur’an dengan tata bahasanya yang tidak dapat ditiru oleh siapapun bahkan ahli syi’ir bangsa Arab pada saat itu. Oleh sebab itu, dirasa sangat mustahil seorang Nabi yang ummi dapat menyusun tata bahasa seindah Al-Qur’an, jangankan Nabi yang telah mendapat status ummi tersebut, Bangsa Arab yang notabene ahli dalam membuat syi’ir pun tidak dapat menandingi Al-Qur’an. Allah telah berfirman dalam Qs. Al-Baqarah ayat 23:
وَإِن كُنتُمْ فِى رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِۦ وَٱدْعُوا۟ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.
Tokoh orientalis menemukan titik sumbu dalam persoalan ini dan kemudian mencoba masuk untuk mengkritiknya, salah satunya adalah Theodor Noldeke. Noldeke mengkritik status ummi dengan pemaknaan yang berbeda. Ia memaknai term “ummi” dalam Al-Qur’an sebagai bentuk ketidakpahaman Nabi Muhammad terhadap kitab-kitab sebelumnya. Dalam hal ini rujuk dari kitab-kitab sebelumnya yang dimaksud yakni kitab umat Yahudi dan Nasrani. Ia menolak pemaknaan umum bahwa “ummi” bermakna tidak bisa membaca dan menulis. Hal ini didasarkan hadis bahwa ketika Nabi Muhammad dipaksa malaikat Jibril untuk membaca saat penerimaan wahyu pertama di Gua Hira. Dengan tegas Nabi Muhammad SAW menjawab “ma ana biqori’” (saya bukanlah seorang pembaca: saya tidak bisa membaca). Dengan redaksi tersebut Theodore Noldeke meragukan validitas riwayatnya, sebab ada laporan riwayat lain menuturkan dalam bentuk redaksi yang berbeda selain “ma ana biqori’” disebutkan juga redaksi “ma aqra’” (apa yang harus saya baca?).
Theodore Noldeke berupaya untuk meruntuhkan keyakinan umat Islam dengan pandangannya bahwa Al-Qur’an tidak memiliki keaslian. Ia berargumen bahwa ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad terinspirasi atau diambil dari tradisi Nasrani dan Yahudi. Noldeke mendasarkan pendapatnya pada asumsi bahwa pada masa Nabi Muhammad, banyak komunitas Yahudi yang tinggal di Jazirah Arab, khususnya di Yatsrib (Madinah). Komunitas tersebut memiliki hubungan baik dengan penduduk Mekkah dan sering mengadakan kunjungan ke sana. Selain itu, ia juga mencatat adanya pengaruh ajaran Yahudi dalam teologi Kristen. Oleh karena itu, Noldeke menyimpulkan bahwa sangat mungkin ajaran Yahudi juga memengaruhi Islam.
Baca juga : Kegiatan Maslahat Fest di UIN Saizu Angkat Konsep Keluarga Maslahah dan Peran Bu Nyai
Selain Noldeke, Ignaz Goldziher yang terkenal dengan karyanya yang diterjemahkan berjudul “Madzahib al-Tafsir” juga mengkritik bahwa Islam merupakan replikasi agama Bangsa Yahudi. Sebab secara teologi, Yahudi sangat dekat dengan Islam. Hal ini dikarenakan antara Yahudi dan Islam juga menyembah Tuhan yang Esa, akan tetapi dalam kacamata sejarah umat Yahudi pernah membunuh Nabi. Kedekatan Yahudi dengan Islam juga terlihat ketika Abu Bakar pada saat itu dalam posisi terdesak oleh salah satu suku di Makkah, Abu Bakar kemudian mengadu kepada suku-suku di luar Makkah yang notabene non muslim karena memang pada saat itu Abu Bakar memiliki pengaruh dan relasi yang cukup besar. Usai aduan Abu Bakar, suku-suku di luar Makkah tersebut mendatangi Abu Jahal dan kemudian memperingatkannya agar tidak menganggu Abu Bakar. Jika peringatan mereka diabaikan, maka otomatis mereka akan mengembargo suku tersebut agar tidak ada pasokan makanan. Tentu, mereka sangat membantu Abu Bakar dan Nabi secara tidak langsung,
Perlu dipahami, bahwa esensi ajaran dari Yahudi, Nasrani, dan Islam tentu tetap berbeda. Karena kitab suci yang mereka pegang telah banyak diubah, sehingga banyak terjadi ketidakcocokan antara Al-Qur’an dengan kitab suci mereka, meskipun dikatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya. Tentunya, karena kebersamaan sejarah antara ketiganya tersebut banyak menuai kontroversi termasuk dari pemikiran Noldeke. Meskipun pandangan Nöldeke terhadap Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur’an menuai kontroversi, kajian historisnya telah mendorong para sarjana Muslim modern untuk lebih memperhatikan aspek kesejarahan Al-Qur’an, tidak hanya terbatas pada diskursus teologis mengenai pewahyuan. Berkat pengaruh ini, muncul berbagai karya yang membahas sejarah Al-Qur’an di kalangan umat Islam, tentu ini menjadi semangat dan motivasi tersendiri bagi sarjana Muslim untuk terus meningkatkan pengetahuannya, khususnya kajian mendalam tentang sejarah.