Seni Ukir Jepara dan Nilai Keabsahan Kebesaran Allah SWT

Oleh Shofi Nur Hidayah

Berbicara tentang Kota Jepara, mungkin tidak akan lepas dari seni ukir yang begitu menyatu dengan kota tersebut. Jepara seolah menjadi ibu bagi seni ukir dan juga para pengerajin yang tinggal di sana. Kegiatan mengukir dan memahat untuk dijadikan mebel atau karya seni memang sudah dilakukan sejak bertahun-tahun lamanya. Kegiatan ini diwariskan dari generasi ke generasi, bahkan mayoritas penduduk Kota Jepara berprofesi sebagai pengerajin ukir. Hasil seni ukir yang dihasilkan sudah tersebar keseluruh negeri bahkan hingga ke mancanegara.

Rupanya kebiasaan memgukir dan melukis sudah ada sejak zaman Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, menurut legenda masyarakat setempat. Dilansir dari laman  Indonesia.go.id Raja Brawijaya pernah memanggil ahli lukis dan ukir bernama Prabangkara untuk melukis sang istri dalam keadaan tanpa busana, tetapi harus mengandalkan imajinasinya tanpa melihat objek yang sebenarnya yakni sang permaisuri Raja. Prabangkara melakukan tugasnya dengan baik, lukisannya benar-benar indah tapi terdapat tahu cecak yang nampak seperti tahi lalat.

Raja Brawijaya pun marah karena letak tahi lalat di lukisan itu sama persis seperti aslinya. Dia kemudian menghukum Prabangkara dengan mengikatnya di layang-layang dan menerbangkannya. Prabangkara laku jatuh di Kota Jepara tepatnya di belakang gunung, yang kini dikenal dengan Desa Mulyoharjo. Prabangkara kemudian mengajarkan masyarakat setempat mengukir dan melukis, sehingga keahlian tersebut masih ada hingga zaman sekarang.

Ukiran Jepara sudah ada sejak zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat sekitar tahun 1549. Ada banyak pihak yang berperan besar dalam perkembangan seni ukir di zaman tersebut. Diantara orang-orang tersebut ada Retno Kencono (anak Ratu Kalinyamat), menteri Kerajaan Sungging Badarduwung dari Campa, dan sekelompok pengukir daerah Belakang Gunung yang bertugas melayani kebutuhan ukir keluarga Kerajaan. Sepeninggal Ratu Kalinyamat, perkembangan seni ukir di Jepara sempat mangkrak dan kembali hidup di zaman RA. Kartini.

Melihat kondisi perekonomian pengerajin yang tidak beranjak dari kemiskinan, membuat Kartini berinisiatif memasarkannya ke luar kota dan hasilnya cukup memuaskan. Akhirnya diketahuilah kualitas karya seni ukir Jepara ini di kanca lokal hingga mancanegara dan memang mampu mengembalikan ekonomi para perajin seni ukir Jepara.  Seni ukir juga tidak hanya cerminan dari budaya lokal saja, seni ukir ini juga bisa berkolaborasi dalam aspek keagamaan.

Dimana mimbar Masjidil Al Aqsa, Palestina juga pernah di ukir replikanya oleh warga Jepara. Yakni Nuruddin Zanki, dia bersama empat orang temannya mengerjakan ukiran tersebut selama lima tahun lamanya. Replika mimbar Masjidil Al Aqsa itu dikerjakan karena sebelumnya mimbar masjid pernah dibakar oleh Israel pada tahun 1969.  Hal ini membuktikan bahwa budaya lokal bisa bersatu padu dengan unsur kesilaman. Kita perlu melestarikan dan menjaga budaya yang ada. Serta memiliki rasa bangga dan mencintai budaya tersebut sebagai bentuk rasa syukur pada Allah SWT karena diberikan keberkahan pengetahuan yang berlimpah khususnya dalam kreativitas melestarikan budaya yang ada. Sebab budaya pun tidak akan pernah ada jika tanpa campur tangan Allah SWT. kekayaan budaya, merupakan bukti kebesaran Allah. Menjaga, melestarikan, serta mengembangkan budaya merupakan bukti syukur sekaligus kekaguman kepada yang maha kaya. Menafikan budaya sendiri, kemudian hanya menerima satu budaya (arab) atas nama agama, justru merendahkan martabat agama itu sendiri, karena menafikan kebesaran dan kekayaan Allah SWT.