Perhelatan pesta rakyat berupa pemilihan umum atau biasa disingkat dengan pemilu sebentar lagi akan segera dihelat pada tahun 2024. Hiruk pikuk kontestasi politik antar aktor politik untuk merebut simpati dan suara masyarakat sudah sangat terasa intensitasnya. Wajar kiranya jika tahun-tahun ini lantas disebut sebagai “tahun politik” dengan masifnya kegiatan politik yang dilakukan. Secara sederhana, pemilu seharusnya menjadi sebuah ajang untuk merefleksikan kembali tujuan negara. Refleksi tersebut akan berbuah ide, gagasan tentang apa yang perlu diperbaiki, ditambah, atau dilanjutkan dalam konteks tercapainya tujuan nasional yang tercantum dalam konstitusi kita. Dalam sistem demokrasi perwakilan yang kita anut, ide dan gagasan tersebut dapat kita salurkan melalui wakil rakyat yang kita pilih dalam pemilu tersebut. Namun dalam realita, banyak narasi ekstrim atau gerakan yang menodai proses tersebut salah satunya adalah memainkan isu identitas dalam upayanya memperoleh suara dari masyarakat. Permainan tersebut jamak didengar dalam sebuah konsep bernama politik identitas.
Praktek politik identitas dalam kontestasi pemilu dapat kita lihat beberapa tahun belakangan ini utamanya sangat marak saat perhelatan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Dalam Pilkada tersebut tampak sekali penggunaan identitas agama untuk menciptakan polarisasi antar pemilih, dimana kita semua tahu bahwa pertarungan final calon Gubernur terjadi antara dua calon yang memiliki perbedaan agama. Keberhasilan praktek politik identitas utamanya karena perbedaan identitas agama pada pilkada tersebut nyatanya berlanjut pada pemilihan presiden 2019 berupa kampanye hitam yang menarasikan polarisasi identitas antar pasangan calon sehingga menimbulkan istilah “cebong” dan “kampret”. Dalam konteks bhineka tunggal ika maupun aktualisasi nilai-nilai pancasila, sangat jelas bahwa narasi politik identitas semacam ini sangatlah berbahaya karena bisa menimbulkan perpecahan bangsa dan lahirnya sentimen komunal. Selain itu, politik identitas juga dapat memicu konflik antar masyarakat yang berbeda identitas sehingga mengancam pluralisme dan demokrasi.
Sejarah politik identitas sebenarnya sudah mulai muncul di Amerika Serikat tahun 1960-an sebagai sebuah gerakan perjuangan hak dari kaum minoritas kulit hitam yang menuntut persamaan hak mereka dengan kaum kulit putih. Ilmuwan sosial sendiri baru tertarik pada isu politik identitas sekitar tahun 1970an ketika mereka dihadapkan pada pada masalah-masalah sosial seperti minoritas, gender, ras, etnisitas dan kelompok sosial lainnya yang merasa terpinggirkan serta merasa teraniaya. Melihat fakta sejarah tersebut, tampak bahwa politik identitas pada awalnya berkembang sebagai sebuah gerakan positif yang berisi ide-ide tentang keadailan. Tuntutan terhadap sebuah kesamaan hak dan keberpihakan pada kaum minoritas sehingga menghilangkan adanya diskriminasi dalam sebuah sistem politik. Hal tersebut senada dengan pernyataan Abdilah dalam bukunya politik identitas etnis, bahwa politik identitas bisa dimaknai sebagai sebuah gaya politik yang berusaha melawan marginalisasi kelompok dengan merangkul kesamaan identitas kolektif (sosial, budaya, dan agama) dari komunitas yang memiliki kesamaan pengalaman tertindas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara.
Apabila dibandingkan dengan realita politik yang ada sekarang, politik identitas sendiri seperti pisau bermata dua yang bisa berdampak negatif, maupun positif, tergantung siapa yang menggunakan pisau tersebut. Pada satu sisi negatif, politik identitas digunakan oleh sekelompok elit yang menggunakan politik identitas sebagai sebuah instrumen untuk mendapatkan kekuasaan tanpa memikirkan dampak jangka panjang yang akan ditimbulkannya yaitu perpecahan bangsa karena adanya polarisasi identitas. Sedangkan dari sisi positif, penggunaan politik identitas bisa digunakan secara lebih bijak untuk mengaktifkan energi kebersamaan dan kesetaraan serta menghapus adanya diskriminasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Agnes Heller seorang aktivis politik kebangsaan Hongaria dalam buku yang ditulis oleh Abdillah, dimana politik identitas dapat memunculkan toleransi dan kebebasan. Namun memang di saat yang sama, politik identitas juga akan memunculkan pola kekerasan dan pertentangan etnis.
Kontra narasi politik identitas khususnya berkaitan dengan identitas agama, dapat dilakukan melalui narasi dan gerakan moderasi beragama yang sedang gencar dilakukan secara struktural oleh Kementrian Agama Republik Indonesia. Moderasi beragama adalah sebuah gagasan dimana dalam masyarakat yang beragam secara agama, individu-individu dari latar belakang agama yang berbeda dapat hidup bersama secara damai dan harmonis. Moderasi beragama mendorong dialog, penghargaan terhadap perbedaan, dan penolakan terhadap ekstremisme agama. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang inklusif dan saling menghormati. Jauh sebelum Indonesia merdeka, cara beragama orang Nusantara yang bercorak damai dan anti kerusakan telah dilakukan. Mereka lebih menyukai moderasi daripada ekstremitas.
Oleh karena itu, untuk mengangkat sisi positif politik identitas, yang mengangkat ide berkaitan dengan perjuangan keadilan, kesetaraan, dan kebebasan, gerakan moderasi beragama ini bisa menjadi penyeimbang dari giat politik identitas agama yang tidak mungkin terelakkan dalam kontestasi pemilu. Penanaman nilai-nilai moderasi beragama berupa toleransi, cinta tanah air akan menjadi obat mujarab bagi giat politik identitas yang mengarah pada polarisasi identitas. Dalam konteks kebangsaan cinta tanah air, para elite partai politik perlu diberikan edukasi mengenai moderasi beragama sehingga nantinya dalam kampanye, yang menjadi senjata bukanlah ide politik identitas namun politik berbasis akal sehat dan narasi yang berbasis gagasan. Sedang dalam kontek nilai toleransi, identitas agama, bukan merupakan suatu hal untuk dipertandingkan, tetapi merupakan suatu bentuk perbedaaan yang sudah menjadi fitrah dan melalui sesuatu yang berbeda tersebut kita bisa saling menghargai satu sama lain.
Selain dalam kontek pemilu, melalui pemahaman moderasi beragama dalam praktek politik identitas juga bisa dilakukan untuk menghadapi ketidakadilan. Saat ini dapat kita lihat banyak fenomena ketidakadilan dalam praktik sosial kemasyarakatan. Sebagai contoh, politik identitas sebagai alat untuk mencari keadilan dalam sistem hukum. Kelompok perempuan berjuang menggunakan identitas politik sebagai perempuan untuk menciptakan regulasi hukum yang lebih adil bagi mereka. Di sisi lain, ada kaum buruh berusaha memperjuangkan hak-hak kelompok buruh agar diperlakukan secara adil dari sisi ekonomi. Perjuangan tersebut dapat dilakukan melalui cara-cara yang santun, saling menghargai, mengutamakan dialog sesuai nilai-nilai yang digaungkan gerakan moderasi beragama. Memang bukanlah hal yang mudah untuk mewujudkan politik identitas yang dijiwai oleh moderasi beragama, namun hal tersebut sangat layak diperjuangkan jika Indonesia ingin menjadi bangsa besar yang menghargai perbedaaan, bukan mempermasalahkan perbedaaan.
Penulis: Muhammad Nuqlir Bariklana
Dosen FISIP UIN Walisongo Semarang