Muslimah Berkarir: Refleksi Keadilan Dalam Benturan Norma dan Realitas

Penulis: Anindya Aryu Inayati*, Editor: Azzam Nabil H.

Seorang Muslimah yang berkarir seringkali dihadapkan pada dua jalur perjalanan yang mengandung tuntutan besar dan tampak saling bertentangan. Satu jalan adalah norma tradisional atau keagamaan yang menekankan peran domestik sebagai istri dan ibu. Jalan lain adalah realitas profesional yang menuntut keterlibatan penuh di ranah publik, seperti jam kerja panjang, mobilitas tinggi, dan independensi. 

Islam sebenarnya tidak melarang perempuan untuk bekerja. Sejarah mencatat banyak tokoh perempuan yang aktif di ranah publik, seperti Khadijah RA sebagai pebisnis, atau Asy-Syifa’ binti ‘Abdillah yang diberi kepercayaan oleh Umar bin Khattab untuk mengelola pasar. Sejarah juga mencatat bahwa arsitek Universitas Al-Qarawiyyin yang merupakan perguruan tinggi tertua di dunia, adalah seorang Wanita, yaitu Fatimah Al-Fihri. Namun, Islam juga menekankan bahwa perempuan memiliki tanggung jawab khusus dalam keluarga, terutama setelah menikah. 

Perempuan dalam Islam memiliki peran sentral dan mulia dalam rumah tangga, bukan sekadar sebagai pelaksana tugas domestik, melainkan sebagai penjaga kehormatan, pendidik generasi, dan sumber ketenangan bagi keluarga. Al-Qur’an dan hadis menegaskan bahwa istri adalah pendamping yang menghadirkan sakinah (ketenangan), serta ibu yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, tempat nilai-nilai moral dan keimanan ditanamkan sejak dini. Posisi ini bukan bentuk subordinasi, melainkan amanah strategis yang menopang kestabilan sosial dan spiritual keluarga. Meski begitu, Islam tidak menutup pintu bagi perempuan untuk berkarya di ruang publik, selama tetap menjaga nilai-nilai syariat dan tidak mengabaikan tanggung jawabnya dalam keluarga. Dengan demikian, norma Islam tidak membatasi perempuan, melainkan menempatkan perannya secara proporsional, adil, dan kontekstual dalam membangun peradaban dimulai dari rumah.

Baca juga: Menunda Ikatan: Mengapa Generasi Z Memilih Karir dan Kebebasan di Atas Pernikahan?

Di sisi lain, ketika seorang Muslimah terjun di dunia kerja modern, ia dihadapkan pada tuntunan untuk dapat memberikan komitmen penuh dalam bentuk jam kerja panjang, mobilitas tinggi, dan kapasitas pengambilan keputusan yang otonom. Di sinilah benturan itu sering muncul. Perempuan yang mencoba menjalankan peran ganda kadang dipertanyakan loyalitasnya: dari sisi agama ia dinilai kurang prioritas pada keluarga, sementara dari sisi dunia kerja kadang dianggap kurang professional. 

Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa Wanita memiliki hak untuk bekerja dan berkarir secara profesional dengan batasan-batasan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Al-Qardhawi mengutip hadits Nabi saw. yang menyatakan: “Barangsiapa yang berjalan untuk mencari rezeki yang halal dengan tujuan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya, maka dia berada pada jalan Allah” (HR. Ahmad dan Thabrani). Berdasarkan hadits ini, Al-Qardhawi berpendapat bahwa wanita yang bekerja untuk menafkahi diri dan keluarganya, atau untuk mengembangkan potensi diri dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, dapat dianggap sebagai amal saleh yang bernilai ibadah di sisi Allah Swt.

Selain itu, keterlibatan Wanita dalam dunia kerja profesional dapat dikaitkan dengan kaidah usul fikih yang menyebutkan:

مَاحُرِّمَ لِسَدِّ الذَرِيعَةِ أُبِيْحَ لِلْحَاجَةِ

Artinya: “Sesuatu yang dilarang sebagai upaya pencegahan, dibolehkan karena adanya kebutuhan”

Adanya pendapat yang melarang wanita muslimah bekerja di luar rumah dengan alasan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan berpotensi mengganggu stabilitas keluarga, berubah menjadi kebolehan bagi Wanita untuk terlibat langsung dalam berbagai profesi strategis yang memang membutuhkannya. 

Baca juga: Busana dan Moralitas: Menghargai Keragaman dalam Penampilan di Tengah Masyarakat Plural

Lalu bagaimana mengenai profesionalitas kerja dan stabilitas keluarga? Haruskah memilih diantara keduanya?

Sebenarnya, Islam dan profesionalisme bisa saling melengkapi jika dimaknai secara kontekstual. Etika kerja Islam justru menuntut profesionalitas: amanah, jujur, bertanggung jawab. Maka, tantangan utama bukan pada syariat atau dunia kerja itu sendiri, tetapi pada bagaimana sistem sosial dan institusi kerja mampu menciptakan ruang yang adil dan fleksibel. Dalam Islam, profesionalitas kerja dan stabilitas keluarga bukanlah dua hal yang harus selalu dipertentangkan atau dipilih salah satunya, melainkan keduanya dapat dijalankan secara seimbang dengan manajemen waktu, tanggung jawab, dan niat yang baik. 

Islam mengajarkan prinsip tawazun (keseimbangan) dalam segala aspek kehidupan, termasuk antara karier dan keluarga. Perempuan yang bekerja tetap dapat profesional selama ia mengatur prioritas dan mendapatkan dukungan yang adil dari pasangan dan lingkungan. Sementara stabilitas keluarga tetap menjadi orientasi utama sebagai fondasi masyarakat. Jika terjadi benturan, Islam mendorong pengambilan keputusan berdasarkan maslahat (kemaslahatan) dan musyawarah, bukan paksaan atau tuntutan sosial semata. Dengan demikian, tidak selalu harus memilih salah satu, tetapi mencari jalan tengah yang adil dan berkelanjutan. Terlebih lagi, dalam masyarakat yang sehat, perempuan tidak dipaksa memilih antara keluarga dan karier, melainkan diberi dukungan untuk menata keduanya secara seimbang dan bermartabat.

*Dosen Fakultas Syariah
Ilustrasi oleh Artificial Intellegence (AI)