Menemukan Keselarasan: Harapan dan Realitas Program Literasi SD dalam Kurikulum Merdeka

Penulis: Aida Hasna Tsabita, Editor: Ibnu Salim

Literasi merupakan fondasi penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Di era informasi seperti saat ini, kemampuan membaca dan memahami informasi menjadi kunci keberhasilan individu dan masyarakat. Sayangnya, tingkat literasi di Indonesia masih memprihatinkan. Data menunjukkan bahwa literasi membaca siswa Indonesia masih berada di peringkat rendah dibandingkan negara lain. Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 menunjukkan bahwa literasi membaca siswa Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 70 negara. Data dari Kemendikbudristek pada tahun 2021 mencatat jumlah pembaca aktif di Indonesia sebanyak 60 juta orang, namun hanya 13,5% dari penduduk Indonesia yang menjadi pembaca aktif.

Berdasarkan data UNESCO pada tahun 2023, Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari 70 negara dalam hal minat baca, dengan hanya sekitar 0,001% masyarakat Indonesia yang memiliki minat baca. Dari data tersebut, Pendidikan Indonesia mempunyai peranan penting dalam menangani tingkat literasi yang ada sekarang. Pemerintah perlu meningkatkan akses bukan hanya ketersediaan buku, namun juga program yang berkaitan dengan bidang pendidikan, khususnya pada bidang kurikulum.

Kurikulum Merdeka, diluncurkan pada tahun 2022, membawa angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia. Salah satu fokus utama kurikulum ini adalah memperkuat literasi siswa, khususnya pada jenjang sekolah dasar (SD). Program literasi SD di Kurikulum Merdeka bertujuan untuk menumbuhkan minat baca dan tulis, meningkatkan kemampuan membaca pemahaman, dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis pada siswa. Harapan besar mengiringi program ini, yaitu dapat melahirkan generasi muda yang gemar membaca, mampu memahami informasi dengan baik, dan memiliki kemampuan berpikir kritis yang tajam. Namun, di lapangan, harapan tersebut masih terbentur dengan kenyataan. Implementasi program literasi SD pada Kurikulum Merdeka masih menghadapi berbagai problematika yang menghambat pencapaian tujuannya.

Baca Juga: Sumbangsih Pemikiran Kritis Fatima Mernissi dalam Meretas Isu Klasik Kesetaraan Gender Melalui Perspektif Al-Qur’an

Beberapa problematika yang dihadapi dalam implementasi program literasi SD pada Kurikulum Merdeka antara lain adalah ketidakjelasan definisi literasi. Definisi literasi menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan praktisi di Indonesia, yang berakibat pada ketidakjelasan arah dan fokus dalam mengembangkan program literasi. Dampak dari ketidakjelasan definisi literasi meliputi program literasi yang tidak terarah dan tidak fokus, kesulitan dalam mengukur keberhasilan program literasi, kurangnya koordinasi antara pemangku kepentingan dalam pengembangan literasi, serta ketidakjelasan peran dan tanggung jawab dalam pengembangan literasi.

Selain itu, keterbatasan infrastruktur dan sumber daya manusia menjadi salah satu problematika dalam pengembangan program literasi. Infrastruktur yang memadai, seperti perpustakaan, taman baca, dan akses internet, sangat penting untuk meningkatkan minat baca dan literasi digital. Sumber daya manusia juga sangat penting untuk mengembangkan program literasi yang efektif. Namun, banyak SD yang memiliki koleksi buku yang terbatas dan tidak diperbarui secara berkala, ruangan perpustakaan yang sempit, dan kurangnya akses internet. Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pihak terkait dalam program literasi juga menjadi hambatan.

Media pembelajaran yang kurang menarik dan interaktif menjadi faktor yang menyebabkan program literasi ini kurang diminati. Guru juga kurang dalam motivasi dan kreativitas dalam melaksanakan program literasi. Kurangnya keterlibatan orang tua dalam program literasi di sekolah dasar menjadi salah satu masalah besar. Orang tua adalah guru pertama bagi anak, termasuk dalam hal literasi. Orang tua dapat membantu anak untuk mengembangkan kecintaan pada membaca dengan menyediakan buku yang menarik serta menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membaca. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa orang tua tidak terlibat secara langsung dalam program literasi anak sehingga memperlambat perkembangan program tersebut.

Metode penilaian literasi yang digunakan dalam Kurikulum Merdeka juga masih kurang fokus pada kemampuan literasi yang kompleks dan kurangnya keterlibatan siswa dalam proses penilaian. Tantangan utama dalam program literasi ini adalah kurangnya pemahaman guru tentang konsep literasi dan metode penilaian yang efektif. Ada beberapa cara untuk menyelesaikan masalah dalam penilaian, seperti melibatkan orang tua dalam proses penilaian dan menggunakan hasil penilaian untuk memperbaiki pembelajaran.

Program literasi SD di Kurikulum Merdeka menjadi sebuah langkah maju yang patut diapresiasi. Namun, untuk mencapai tujuan dari program ini, dibutuhkan dukungan yang lebih besar. Pertama, pemerintah perlu mengalokasikan dana yang lebih besar untuk program literasi. Dana ini dapat digunakan untuk membeli buku, melatih guru, dan membangun infrastruktur pendukung. Kedua, guru perlu diberikan pelatihan berkelanjutan tentang metode pembelajaran literasi yang efektif. Ketiga, sekolah perlu menjalin kerjasama dengan orang tua untuk mendukung program literasi. Dengan adanya kerjasama antara orang tua dan pihak sekolah, dapat tercipta lingkungan yang kondusif untuk literasi siswa. Keempat, masyarakat perlu didorong untuk menumbuhkan budaya membaca dengan berbagai cara. Dengan cara menumbuhkan budaya membaca di lingkungan masyarakat, diharapkan anak-anak akan termotivasi dalam membaca sebagai bagian dari gaya hidup mereka.

Baca Juga: Program Sekolah Ramah Anak (SRA) Dan Kontribusi Pemerintah Dalam Menurunkan Tingkat Kekerasan Terhadap Anak Di Indonesia

Solusi-solusi di atas diharapkan dapat membuat program literasi pada Kurikulum Merdeka berjalan dengan efektif dan mencapai tujuannya. Program literasi pada Kurikulum Merdeka memiliki potensi besar untuk meningkatkan minat baca dan kemampuan literasi siswa. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, perlu adanya kerjasama dan komitmen dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat.