Oleh: Zaenal Mustakim
Konferensi Moderasi Beragama: Asia, Afrika, dan Amerika Latin (KMB-AAA) yang mengangkat tema “Religion and Humanity” diselenggarakan di Bandung pada 20-22 Desember 2023. Konferensi yang merupakan hasil kerja sama antara Balitbang Diklat Kementerian Agama dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini dihadiri 22 duta besar dari berbagai negara, tokoh agama serta para akademisi. Hadir pula utusan khusus Grand Shaikh Al-Azhar. Prof. Dr. Nahlah Soaidy yang sekaligus pembicara pada plenary session.
Pemilihan tempat di Bandung, tepatnya di Gedung Merdeka tentu tidak lepas dari sejarah panjang dari dilaksanakannya Konferensi Asia-Afrika pada 1955 yang menjadi cikal bakal dari “gerakan non-blok”. Sebanyak 29 negara yang saat ini dikenal dengan “global South” berkumpul di kota Bandung yang menghasilkan Bandung Carter. Tentunya, saat ini kita mengenang sejarah tersebut untuk menghidupkan kembali spirit Bandung dalam mewujudkan perdamaian dalam konteks kehidupan kita saat ini dengan berbagai macam tantangannya. Kita mengukir sejarah dalam mewujudkan kehidupan yang harmoni.
KMB AAA merupakan upaya mengenalkan dan mempromosikan moderasi beragama pada dunia, serta membuka ruang perjumpaan lintas agama melalui dialog antaragama dalam mewujudkan kehidupan yang damai. Selain itu, konferensi ini juga merupakan bentuk wujud komitmen bangsa Indonesia dalam membangun perdamaian dunia, di tengah berbagai macam tantangan global termasuk konflik kemanusiaan yang tengah melanda di berbagai belahan negara.
Oleh karenanya, agama harus menjadi solusi, bukan sumber masalah. Nilai-nilai universal dalam agama mengajarkan kita menjunjung tinggi harkat martabat orang lain, tidak menyakiti satu sama lain. Di aspek lain, khususnya di Barat memandang bahwa agama adalah ranah privat.
KMB AAA pula menjadi “counter-narrative” terhadap paradigma di atas, bahwa agama bukan hanya domain privat masing-masing pemeluknya, melainkan harus diimplementasikan di ruang publik, Namun bukan dilandasi dengan semangat “sektarian” melainkan dengan semangat inklusif, merawat dan menghargai perbedaan — karena esensinya Tuhan sendiri menghendaki kita berbeda, itulah sunatullah. Inilah yang menjadi landasan tema yang diangkat dalam KMB AAA adalah Religion dan Humanity.
Momen bersejarah di Gedung Merdeka ini, bukan hanya terkait negara non blok dan politik global dunia, tetapi juga pada hal yang sangat esensial yakni mewujudkan perdamaian dunia yang melibatkan berbagai macam negara melalui kerja sama lintas budaya dan dialog antaragama.
KMB AAA yang diselenggarakan dan dihadiri oleh berbagai macam pihak, menegaskan bahwa agama menjadi katalisator untuk membangun perdamaian – seperti pesan semua agama yakni memberikan keselamatan pada setiap pemeluknya. Agama bukan dimaknai sebaliknya sebagai sumber konflik melainkan sumber perdamaian. Dari spirit Bandung inilah kita belajar untuk memberikan inspirasi melalui langkah-langkah konkret dalam mewujudkan perdamaian dan kemanusiaan.
Moderasi Beragama: Solusi Tantangan Keberagamaan
Saat ini fenomena keberagamaan di Indonesia dihadapkan kepada tiga tantangan. Pertama, berkembangnya cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang berlebihan (ekstrem), yang mengesampingkan martabat kemanusiaan.
Kedua, berkembangnya klaim kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta pengaruh kepentingan ekonomi dan politik berpotensi memicu konflik. Ketiga, berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menjaga kehidupan yang harmonis melalui moderasi beragama menjadi sangat penting untuk dilakukan sesuai dengan esensi dari ajaran agama sendiri yakni memerintahkan umatnya untuk berlaku dan berbuat, adil, dan seimbang. Dengan memahami ajaran agama yang dianutnya serta mengenali ajaran agama lain dapat menjadikan kita lebih terbuka sebagai umat beragama.
Kerap kali persoalan agama muncul akibat prasangka buruk kita, dan sikap absolutisme yang kerap merasa dirinya paling benar. Kebenaran agama yang diyakini sebagai kebenaran absolut agama yang paling benar ini merupakan ranah internum. Dalam kehidupan beragama yang terdiri dari berbagai agama tidak lantas keberagamaan yang absolut di ranah internum kemudian digeser dan ditarik ke ranah eskternum.
Dialog antaragama yang diselenggarakan melalui KMB AAA ini membuka ruang untuk kita dapat menghargai keyakinan agama orang lain. Menumbuhkan kesadaran bahwa dalam setiap agama ada nilai-nilai esoterik yang menyatukan antara satu agama dan agama lainnya.
Untuk mencapai hal itu, setidaknya rerdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan. Pertama, memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan agama yang diajarkan di berbagai lembaga pendidikan tidak lagi sekadar memberikan pelajaran agama, tetapi juga tentang beragama. Agama tidak hanya sebagai pengetahuan tapi bagaimana praktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Ajaran agama bukan sekedar pengetahuan mengenai ajaran agama semata, tetapi membiasakan dan mempraktikkan nilai-nilai agama tersebut, sebagaimana istilah Pierre Bourdieu, menjadi “habitus” serta menjunjung kemanusiaan. Seperti yang pernah diutarakan oleh KH. Abdurrahman Wahid, Gus Dur bahwa sejatinya orang beragama adalah memuliakan manusia, humanisme.
Kedua, mengelola keragaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan. Keragaman dan perbedaan merupakan sunatullah. Dalam sejarahnya, perbedaan penafsiran keagamaan dalam Islam sendiri merupakan kekayaan khazanah Islam yang melahirkan berbagai macam mufasir.
Bukan sebaliknya seperti saat ini, justru orang-orang menafsirkan agama secara serampangan yang merusak kehidupan beragama itu sendiri, yang akhirnya menampilkan wajah Islam yang keras. Sebagaimana yang diutarakan oleh Ghulam Farid Malik: Islam is religion of peace and justice, not permit extremism, violence or terrorism in all spheres of life.
Ketiga, merawat Keindonesiaan. Gus Dur adalah salah satu orang yang tercatat sebagai tokoh yang menggelorakan kembali identitas keber-Islam-an kita yang syarat dengan identitas kebangsaan. Syekuna Khalil Bangkalan pernah mengatakan dalam salah satu karyanya bahwa “mencintai negara adalah bukti keimanan kita, menjaga negara kita adalah wujud keimanan kita” Sejalan dengan hal itu Gus Dur mengutarakan “NKRI harga mati, Pancasila final, dan kebinekaan adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri rakyat Indonesia”.
Moderasi Beragama dalam mewujudkan perdamaian dan kemanusiaan, bukan hanya tugas Kementerian Agama, tetapi perlu peran serta seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Seperti juga keanekaragaman bangsa ini dengan segala perbedaannya — bukan menjadi sumber pemecah belah bangsa, melainkan sebagai sumber kekuatan yang dapat mewujudkan kehidupan yang harmonis sehingga dapat menjadi contoh berbagai negara.
Konferensi Moderasi Beragama Asia, Afrika, dan Amerika Latin merupakan langkah awal dalam mempromosikan moderasi beragama dan mewujudkan keharmonisan hidup beragama dari Indonesia untuk dunia.
===
Zaenal Mustakim, Rektor UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, Peserta Konferensi Moderasi Beragama Asia, Afrika, dan Amerika Latin (KMB-AAA).
Artikel Pertama kali dimuat di arina.id