Oleh Shofi Nur Hidayah
Kiai Haji Maimun Zubair, atau yang kerap dipanggil dengan sebutan Mbah Moen adalah seorang ulama sekaligus politikus Indonesia. Mbah Moen merupakan pengasuh tertinggi di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang dan menjabat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan hingga akhir hayatnya. Beliau lahir di Karangmangu, pada 28 Oktober 1928 dan wafat pada 16 Agustus 2019 di Makkah, Arab Saudi. Mbah Moen merupakan putra sulung dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Dari jalur kakek, nasab Mbah Moen sampai kepada Sunan Giri.
Sejak kecil Mbah Moen sudah dibimbing langsung oleh orang tuanya dalam hal pendidikan. Beliau dibekali ilmu agama yang kuat, mulai dari menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah, dan macam-macam ilmu Syara’ lainnnya. Di usia muda beliau sudah menghafal beberapa kitab diantaranya Al-jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotul Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah Fil Faroidl. Beliau juga menghafal kitab fiqih madzhab Syafi’i , seperti Fathul Qorib, fatul muin, Fathul Wahhab dan sebagainya.
Pada tahun 1945 Mbah Moen memulia pendidikan lainnya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dibawah bimbingan K.H Abdul Karim atau yang akrab disapa Mbah Manaf. Selain pada Mbah Manaf beliau juga menimba ilmu dari K.H Mahrus Ali dan K.J Marzuqi. Setelahnya kemudian kembali ke kampung halamannya mengamalkan ilmu yang telah didapatkan. Lalu ditahun 1950, beliau berangkat ke Makkah bersama sang Kakek, K.H Ahmad bin Syu’aib untuk melanjutkan pendidikannya menimba ilmu dari ulama di Makkah.
Guru-guru Mbah Moen di tanah Jawa antara lain Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abui Fadhil Senori (Tuban), dan beberapa Kiai lainnya. Dari kisah perjalanan kehidupan Mbah Moen, kita dapat mengambil hikmah untuk semangat dan senantiasa bersyukur telah diberikan kesempatan untuk menimba ilmu. Mbah Moen juga senantiasa bertawadhu kepada para guru-gurunya, beliau tetap rendah hati dan menghormati orang yang pernah mengajarkannya suatu keilmuan. Hal itu lah yang perlu di tiru oleh generasi muda zaman sekarang agar tetap menghormati seorang guru dan tetap semangat menimba ilmu dimana pun dan kapanpun. Sebab tidak ada batasan dalam mencari ilmu, selain itu ada hal penting yang perlu diingat. Dalam mencari ilmu, bukan dilihat dimana kita menimba ilmu tapi bagaimana kita menerapkan keilmuan yang telah didapatkan.