Penulis: Zacky Al-Ghofir El-Muhtadi Rizal, Editor: Sirli Amry
Ketupat merupakan salah satu hidangan khas yang selalu hadir dalam perayaan Idulfitri di Indonesia. Makanan berbentuk segi empat ini tidak hanya sekadar sajian kuliner, tetapi juga mengandung filosofi mendalam yang mencerminkan makna spiritual, sosial, dan budaya. Ketupat sering disajikan bersama hidangan lain seperti opor ayam, rendang, dan sambal goreng, mencerminkan semangat kebersamaan dalam keluarga dan masyarakat. Momen makan bersama ketupat di Hari Raya juga menjadi kesempatan untuk mempererat tali persaudaraan serta mengingatkan pentingnya berbagi dengan sesama.
Secara filosofi, ketupat memiliki beberapa makna yang berkaitan dengan kehidupan dan ajaran Islam. Bentuk ketupat sendiri melambangkan kesalahan dan kejujuran. Anyaman janur yang membungkus ketupat menggambarkan dosa dan kesalahan manusia yang sering kali berbelit-belit dan kompleks. Namun, ketika ketupat dibelah, akan terlihat nasi putih di dalamnya yang kemudian melambangkan hati yang kembali suci setelah menjalani ibadah puasa dan saling memaafkan di Hari Raya Idulfitri. Hal ini tentu mencerminkan esensi dari Lebaran, yaitu kembali kepada fitrah dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Sebagai contoh, tradisi halal bihalal di Indonesia menunjukkan bagaimana umat Islam saling bersilaturahmi untuk meminta dan memberi maaf, sejalan dengan filosofi ketupat yang menggambarkan pembersihan hati.
Selain itu, janur yang digunakan sebagai pembungkus ketupat memiliki makna kesucian. Dalam bahasa Jawa, “janur” sering dikaitkan dengan “jatining nur” yang berarti cahaya sejati. Hal ini menggambarkan bahwa Idulfitri adalah momentum bagi setiap Muslim untuk kembali pada kesucian setelah sebulan penuh berpuasa. Dalam konteks ini, makna janur dapat dikaitkan dengan pencarian spiritual dan perbaikan diri yang diharapkan dapat terus dipertahankan setelah bulan Ramadan berakhir.
Dalam budaya Jawa, ketupat juga dikenal dengan istilah “kupat”, yang merupakan kependekan dari “ngaku lepat” atau mengakui kesalahan. Hal ini mengajarkan tentang pentingnya rendah hati dan kesadaran diri dalam memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. Selain itu, ketupat juga dikaitkan dengan konsep “laku papat” atau empat tindakan utama dalam Idulfitri, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran menandai berakhirnya bulan Ramadan dan menjadi simbol kemenangan spiritual setelah berpuasa. Luberan melambangkan ajakan untuk berbagi rezeki dengan sesama, seperti melalui zakat dan sedekah, yang merupakan bagian penting dari ajaran Islam dalam membangun solidaritas sosial. Leburan bermakna melebur dosa dengan saling memaafkan dan membersihkan hati, sementara laburan mengacu pada pemutihan atau penyucian diri, sebagaimana warna nasi dalam ketupat yang melambangkan hati yang bersih. Misalnya, dalam praktik di masyarakat, banyak keluarga yang mengunjungi sanak saudara dan tetangga untuk saling meminta maaf dan berbagi kebahagiaan. Lebaran bukan hanya sekadar perayaan kemenangan setelah sebulan berpuasa, tetapi juga momentum untuk introspeksi dan perbaikan diri.
Baca Juga: Khutbah Idul Fitri: Momen Introspeksi dan Pembangkitan Semangat
Ketupat mengajarkan kita untuk mengakui kesalahan, meminta maaf, serta hidup dalam harmoni dengan sesama. Dengan memahami filosofi ketupat, kita dapat lebih menghayati makna Idulfitri sebagai hari yang penuh keberkahan dan kesucian. Sebagai simbol kemenangan dan pembersihan diri, ketupat tidak hanya menjadi hidangan khas Lebaran, tetapi juga mengandung nilai-nilai kehidupan yang patut direnungkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, ketupat bukan sekadar makanan, melainkan juga pengingat akan pentingnya kesederhanaan, kebersamaan, dan kesucian hati dalam menjalani kehidupan.