Oleh Shofi Nur Hidayah
Nama K.H Agus Salim tentu tidak asing ditelinga masyarakat Indonesia, beliau merupakan mantan Menteri Luar Negeri Indonesia tahun 1947-1949. Sekaligus salah satu delegasi Indonesia dalam sidang PBB 14 Agustus tahun 1947 di Lake Success, New York, Amerika Serikat. Lahir dengan nama Masyudul Haq yang berarti “Pembela Kebenaran”, beliau lahir pada 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Agus Salim merupakan salah satu dari segelintir anak pribumi yang dapat mengenyam pendidikan elit di era kolonial. Tepatnya di Hogere Burger School (HBS) dan lulus dengan predikat lulusan terbaik.
Pasca kelulusannya di HBS, Agus Salim sempat bekerja sebagai staf konsulat Belanda di Jeddah. Atas dorongan dari sang ayah dan setelah mendapatkan surat keterangan kesamaan status dengan warga negara Belanda Agus Salim bekerja di Jeddah. Pada kesempatan itu pula Agus Salim belajar agama dengan pamannya sendiri yang merupakan imam di Masjidil Haram, yakni Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Setelah pulang dari Jeddah ke Indonesia Agus Salim tak hanya membawa ilmu agama saja, melainkan ilmu barat dan timur yang dia dapat dari buku-buku bacaannya saat berada di Jeddah.
Pemikirannya yang kritis juga diwarnai oleh filsafat-filsafat barat dan gerakan reformis yang digagas oleh Syekh Jamaluddin Al-Afghani yang dilanjutkan oleh muridnya, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Saat di Indonesia Agus Salim masuk dalam Pergerakan Nasional melalui Sarekat Islam, setelah mengenal Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto. Kemudian beliau masuk dalam Jong Islamieten Bond, dan Gerakan Penyandar. Atas kesadarannya tentang betapa pentingnya menyebarkan pemikirannya pada khalayak luas, Agus Salim kemudian menjalankan profesinya sebagai jurnalis dan menjadi redaktur di Neratja.
Perjalanan Agus Salim tidak berhenti sampai disitu saja, beliau juga sempat masuk ke Volksraad (Dewan rakyat bentukan Belanda) pada tahun 1921-1924. Kemudian Volksraad mulai tidak koorperatif dengan Hindia Belanda. Lalu pada era kemerdekaan, Agus Salim ikut serta dalam perumusan UUD 1945 bersama 18 orang lainnya yang dipimpin langsung oleh Ir. Soekarno. Salah satu jasa penting dari Agus Salim adalah keberhasilanya dalam misi diplomasi yang berpangkal pada perjanjian persahabatan dengan Mesir di tahun 1947.
Bakatnya dalam bidang diplomasi mengantarkan Agus Salim menjadi menteri luar negeri pada masa kabinet Sjahrir, Kabinet Amir Sjarifuddin, dan Kabinet Hatta. Beliau juga menguasai setidaknya 9 bahasa asing, yakni Bahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Latin, Arab, Mandarin, Jepang, dan Turki. Kemampuannya dalam berbahasa asing, diplomasi, hingga public speaking membuatnya dijuluki The Grand Old Man dikalangan para tokoh perjuangan bangsa. Beliau terkenal sebagai pribadi yang pantang menyerah dan berpegang teguh pada prinsip. Sikap seperti itu kah yang patut untuk ditiru oleh generasi muda di zaman sekarang, agar tidak terjebak dalam pragmatisme dan hedonisme yang merajalela di era globalisasi ini.
The Grand Old Man: K.H Agus Salim Sang kyai dan Diplomat Indonesia