Toleransi dalam Keberagaman: Kontroversi Salam Lintas Agama

Penulis : Imelda Avritasari, Editor : Nanang

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan penggunaan salam lintas agama telah menimbulkan gelombang kontroversi di kalangan masyarakat. Fatwa ini dikeluarkan dengan dasar keyakinan bahwa salam dari berbagai agama memiliki unsur-unsur ibadah yang sakral, sehingga mengucaokan salam lintas agama dianggap sebagai bentuk toleransi yang tidak dibenarkan. Di tengah keberagaman Indonesia yang terdiri dari berbagai agama, keputusan ini memicu perdebatan yang mendalam tentang batasan toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan keyakinan.

MUI menganggap salam lintas agama sebagai pencampuran ibadah, karena setiap salam memiliki makna doa yang suci dalam agama masing-masing. Menurut MUI, mengucapkan salam dari agama lain adalah bentuk toleransi yang menyalahi prinsip keagamaan dan dapat mengaburkan identitas religius seseorang. Mereka berpendapat bahwa salam adalah bagian dari praktik ibadah dan harus dijaga kesuciannya dalam konteks keagamaan masing-masing. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa setiap agama memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan penghormatan dan doa, yang tidak seharusnya dicampuradukkan.

Namun, pandangan ini sekiranya terlalu kaku dan tidak sesuai dengan semangat toleransi. Salam dari berbagai agama, pada intinya, adalah ungkapan penghormatan dan harapan baik. Mengucapkan salam lintas agama seharusnya dilihat sebagai bentuk penghormatan terhadap keanekaragaman, bukan sebagai pelanggaran. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa salam adalah ungkapan universal yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti perdamaian, keselamatan, dan kesejahteraan.

Arti Salam dalam Berbagai Agama

Indonesia mengakui enam agama resmi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, yang masing-masing memiliki salam berbeda. Salam-salam ini memiliki makna yang dalam dan mencerminkan ajaran masing-masing agama:

Islam: “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” berarti semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan Allah terlimpah kepada kalian. Salam ini menekankan pentingnya doa untuk keselamatan dan rahmat dari Tuhan.

  • Kristen dan Katolik: “Shalom” dan “Salam sejahtera bagi kita semua.” Shalom adalah salam dalam bahasa Ibrani yang berarti damai, sejahtera, dan keselamatan. Ini menunjukkan keinginan untuk hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan bersama.
  • Hindu: “Om Swastiastu” berarti semoga selamat atas karunia dari Sang Hyang Widhi. Salam ini mencerminkan doa untuk keselamatan dan berkah dari Tuhan yang Maha Esa.
  • Buddha: “Namo Buddhaya” yang berarti terpujilah Buddha. Ini adalah bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap kebijaksanaan dan belas kasih Buddha.
  • Khonghucu: “Salam kebajikan,” yang merupakan harapan untuk hidup yang penuh dengan kebajikan dan moralitas yang baik.

 

Meski berbeda secara verbal, semua salam ini menyampaikan pesan yang serupa: harapan akan keberkahan, keselamatan, dan perdamaian. Salam-salam ini menunjukkan bahwa pada intinya, semua agama mengajarkan nilai-nilai yang universal dan kemanusiaan.

Menariknya, ajaran Nabi Muhammad SAW sendiri mencerminkan toleransi yang tinggi terhadap keberagaman. Dalam Al-Quran surat Al-Mumtahanah ayat 8, Allah berfirman: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mendorong umat Islam untuk berbuat baik dan adil kepada semua orang, terlepas dari perbedaan agama.

Selain itu, dalam surat Az-Zukhruf ayat 89, Allah berfirman: “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah, ‘Salam (keselamatan).’ Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk).” Ayat ini mengajarkan bahwa Nabi Muhammad SAW diinstruksikan untuk bersikap damai dan menghormati, bahkan terhadap mereka yang tidak sepaham. Nabi Muhammad SAW juga pernah mengucapkan salam kepada sekumpulan orang yang terdiri dari muslim dan non-muslim, sebagaimana tercatat dalam hadis riwayat Al-Bukhari. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW mempraktikkan toleransi dan menghargai perbedaan dalam kehidupan sehari-hari.

Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Agama menyatakan bahwa salam lintas agama adalah bentuk penghormatan terhadap keberagaman dan tidak seharusnya dipandang sebagai pelanggaran. Mereka menekankan bahwa salam merupakan ekspresi budaya yang bisa memperkuat persatuan di tengah masyarakat majemuk. Menurut Kementerian Agama, menghargai dan menerima salam dari agama lain dapat menciptakan suasana harmonis dan damai. Mereka berpendapat bahwa menjaga kerukunan antarumat beragama adalah tanggung jawab bersama, dan salam lintas agama adalah salah satu cara untuk menunjukkan rasa saling menghormati dan menghargai perbedaan.

Fatwa MUI, sebagaimana sifatnya, merupakan pendapat yang bisa diikuti atau diabaikan. Setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan sikapnya sendiri dalam hal ini. Bagi mereka yang merasa khawatir dengan konsekuensi religius dari mengucapkan salam lintas agama, alternatif yang lebih netral dapat digunakan, seperti ucapan “selamat pagi,” “selamat siang,” dan “selamat malam.” Ucapan-ucapan ini tidak mengandung unsur keagamaan tertentu dan dapat diterima oleh semua orang, sehingga tetap menjaga nilai toleransi dan kerukunan. Penting untuk diingat bahwa tujuan utama dari salam adalah untuk menyampaikan rasa hormat dan kebaikan kepada orang lain.

Indonesia, dengan segala keberagamannya, tidak seharusnya terpecah hanya karena perbedaan salam. Toleransi adalah landasan utama yang harus dijaga untuk memastikan kerukunan dan perdamaian di antara berbagai kelompok agama. Apapun salam kita, apapun agama kita, menjaga dan merayakan perbedaan adalah kunci untuk menciptakan harmoni. Dengan saling menghormati dan memahami, kita dapat membangun bangsa yang lebih kuat dan bersatu, sesuai dengan nilai-nilai luhur kebangsaan Indonesia.