Penulis: Prof. Dr. H. Zaenal Mustakim, M.Ag (Rektor UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan), Editor: Sam
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim yang istitha’ah atau mampu baik mampu secara jasadiyah (fisik) maupun mampu secara maliyah (pembiayaan). Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh dunia berkumpul di Mekkah untuk melaksanakan berbagai rangkaian ritual haji. Salah satu titik krusial dalam pelaksanaan ibadah haji adalah berkumpulnya lautan manusia di area Muzdalifah dan padatnya perjalanan dari Muzdalifah menuju Mina.
Mina adalah tempat di mana jamaah haji melaksanakan serangkaian ritual seperti mabit (bermalam), melontar jumrah, dan berdoa. Mengingat urgennya masalah tersebut, Kementerian Agama Republik Indonesia telah mengembangkan strategi yang dikenal dengan “Skema Murur”.
Murur merupakan skema jamaah haji Indonesia yang bermalam di area Muzdalifah dengan cara melintas (murur), tidak turun dari bus dan tetap melanjutkan perjalanan menuju Mina setelah melaksanakan wukuf di Arafah. Skema ini diprioritaskan bagi jamaah yang memiliki udzur seperti jamaah yang beresiko tinggi, lansia dan berkebutuhan khusus.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk ijtihad dan ikhtiyar Kementerian Agama demi kemaslahatan jamaah haji Indonesia untuk tidak berdesakan ketika berada di Muzdalifah yang berpotensi pada terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan bahkan dapat mengancam keselamatan jiwa jamaah.
Skema ini berhasil mengantarkan jamaah haji Indonesia sampai di Mina tepat waktu. Langkah efektif yang dilakukan Kementerian Agama ini sejatinya untuk kebaikan dan kemaslahatan jamaah haji Indonesia dari padatnya lautan manusia selama berada di Muzdalifah. Langkah ini tentu patut diapresiasi sebagai langkah konstruktif dalam menjaga layanan haji yang semakin tahun semakin baik sebagai bagian dari layanan haji ramah lansia yang terus menjadi prioritas Kementerian Agama dibawah kepemimpinan Gus Yaqut Cholil Qoumas.
Kesuksesan Kementerian Agama mengantarkan jamaah haji Indonesia sampai di Mina dengan tepat waktu tanpa ada kendala. Hal ini merupakan hikmah dari ijtihad Kementerian Agama yang berkesesuaian dengan salah satu prinsif maqashid al-syari’ah atau al-daruriyat al-khams sebagaimana disampaikan Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat yakni hifz al-nafs atau menjaga jiwa. Artinya tujuan utama dari sebuah pensyariatan agama adalah terjaganya jiwa manusia, maka jika dalam kondisi tertentu pelaksanaan ibadah itu mengancam keselamatan jiwa maka pelaksanaan dari suatu ibadah tersebut memiliki prinsif fleksibelitas semua itu demi terjaganya keselamatan jiwa manusia, dan itulah tujuan utama dari pensyariatan agama.
Hal ini juga senada dengan putusan masyawarah bahtsul masail Syuriyah PBNU pada Selasa (28/5/2024) bahwa pelaksanaan mabit di Muzdalifah dengan cara murur dapat menjadi solusi fiqih atas kepadatan jamaah di area Muzdalifah sebagaimana dilansir dalam laman www.nu.or.id. Menjaga keselamatan jiwa atau hifzhun nafs pada saat jamaah haji saling berdesakan di Muzdalifah yang akan mengancam keselamatan jiwa jamaah masuk dalam kategori udzur syar’i. Oleh karenanya, jika Kementerian Agama tidak mengambil kebijakan skema murur ini, maka bisa saja berbagai potensi yang tidak diinginkan termasuk ancaman bagi keselamatan jiwa jamaah haji Indonesia akan menjadi kenyataan. Semoga dengan kondisi yang aman dan nyaman, jamaah haji Indonesia mampu dengan khusyuk menyempurnakan seluruh rangkaian ibadah haji yang mengantarkannya menjadi ibadah yang mabrur. Sukses terus Kementerian Agama dan tetap setia dalam melayani umat.