Moderasi Beragama sebagai Upaya Mencegah Ekstremisme dan Radikalisme di Indonesia

Penulis : Jihan Nabila Safinnatunnaja, Editor : Dina Fitriana

Semua orang di dunia ini cenderung sepakat bahwa masyarakat lebih menyukai kedamaian dan kerjasama daripada konflik dan perselisihan. Akan tetapi pada kenyataannya seringkali kita jumpai konflik dan perselisihan di sekeliling kita. Islam mengalami proses penyesuaian dan adaptasi dengan budaya lokal ketika tiba di Indonesia pada abad ke-13. Namun, pada periode berikutnya, terutama pada masa penjajahan Belanda, muncul gerakan-gerakan keagamaan yang radikal. Hal itu mengarah pada pemahaman islam yang  lebih literal dan tidak toleran terhadap perbedaan.

Pada masa kemerdekaan, kebebasan ekspresi dan penyebaran agama yang diperbolehkan oleh negara menciptakan ruang bagi pemahaman islam yang lebih luas, baik yang moderat maupun ekstremis. Faktor-faktor sejarah seperti ini membentuk latar belakang  yang komplek untuk perkembangan ekstrimisme Islam di Indonesia. Ekstremis adalah seseorang yang menganut pandangan ekstrim. Individu seperti ini melampaui apa yang dianggap normal dan diharapkan. Sebaliknya, kelompok moderat mempunyai pandangan yang lebih lembut. Mereka tidak ekstrim dalam keyakinan dan tindakannya.

Baca Juga : Candi Wat Arun Bangkok: Kolaborasi Sempurna Estetika, Harmoni dan Spiritualitas

Pada beberapa dekade terakhir, nama Islam sering kali dikaitkan dengan aksi-aksi gerakan ekstrimis dan teroris yang terjadi di berbagai penjuru. Penggunaan simbol-simbol ajaran agama tersebut tidak hanya berdampak pada pelaku dan korbannya, melainkan terhadap  pihak-pihak yang justru tidak terlibat maupun tahu menahu akar persoalannya. Ekstrimisme memberikan gambaran bahwasannya agama memiliki  keterpurukan akan keyakinan  dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.  Mereka  memiliki keyakinan berlebihan yang ekstrim sehingga seseorang ataupun kelompok tertentu bisa saja mengalami collective punishment, dimana seseorang atau kelompoknya dihukum  secara kolektif bukan karena kesalahan sendiri, melainkan karena kesalahan orang lain.

Sebagian besar korban collective punishment ini adalah kaum perempuan dan anak-anak, mereka sasaran empuk berbagai bentuk tindakan kekerasan fisik maupun psikis, hal ini yang cenderung lemah, dan tidak berdaya dalam melakukan perlawanan terhadap serangan yang datang, apalagi jika dilakukan secara kolektif. Sehingga di tempat-tempat publik seperti lingkungan kerja, lingkungan masyarakat, bahkan di sekolah, perempuan dan anak-anak rentan mengalami collective punishment mulai dalam bentuk kekerasan verbal, kekerasan fisik, hingga pada aksi pembunuhan. Seperti yang diketahui, ekstremisme telah berkembang dengan laju yang meningkat secara signifikan dalam modus, kuantitas, dan kualitas.

Baca Juga : Meneladani Moderasi Beragama dalam Kehidupan Sehari-hari

Dengan meningkatnya ekstrimisme di indonesia, terdapat salah satu upaya pemerintah di Indonesia yakni Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah DIY untuk memerangi ekstremisme. Organisasi pemuda dan tokoh masyarakat dari Kapanewon Kokap, Kabupaten Kulon Progo, merupakan mayoritas peserta yang hadir.  Acara ini diselenggarakan di Tabebuya Cafe, dalam Kegiatan ketiga dari dua belas kegiatan di Kabupaten Kulon Progo, yaitu Sosialisasi Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, dilaksanakan pada tahun 2023. Pernyataan tersebut mengungkapkan  bahwa “Tujuan dari proses sosialisasi ini adalah untuk mencegah radikalisme menyebar dan berkembang menjadi aksi terorisme dan ekstrimisme.”

Dengan ini, tujuan di balik fungsi moderasi beragama dalam budaya Indonesia adalah untuk menggagalkan munculnya karakter ekstremis.

Pertama, untuk menjaga keamanan dan perdamaian beragama, moderasi beragama dapat membantu kita memahami, menjaga perdamaian dan keamanan. Kedua, untuk menjaga pengembangan kemampuan literasi wawasan kebangsaan Indonesia, mulai dari sejarah bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesadaran akan sikap toleransi beragama, dapat membantu tercapainya moderasi beragama. Yang ketiga adalah mencegah radikalisme pada setiap orang dengan menciptakan lingkungan pertemanan, komunitas, dan pendidikan yang dapat mengubah persepsi kita tentang toleransi beragama, maka dapat mengubah persepsi kita tentang toleransi beragama. Keempat, memupuk budaya-budaya daerah yang terdapat di seluruh kota, pedesaan, dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Dengan demikian, melalui pendekatan moderasi beragama secara perlahan, seseorang dapat meningkatkan rasa hormat terhadap ras, etnis, dan budaya di Indonesia, sehingga dapat mewujudkan pemahaman masyarakat. Lalu seseorang pun bisa menjadi lebih terbuka dalam mengadopsi perspektif yang seimbang terhadap agama. Hal ini pun dapat mengembangkan cara berpikir dan bertindak atas klaim kebenaran agama.