Tradisi Sya’banan di Pekalongan. Menyambung Silaturahmi, Menyatukan Habaib dan Kyai dalam Bingkai Ahlussunnah Wal Jamaah

Penulis: Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E, Editor: Sirli Amry

Pekalongan, kota yang terkenal dengan batik dan keindahan pantainya, menyimpan sebuah tradisi unik yang mungkin jarang ditemui di tempat lain. Tradisi ini disebut Sya’banan, sebuah perayaan yang bahkan bisa dibilang lebih semarak daripada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Setiap tahun, ketika bulan Sya’ban tiba, seluruh lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua, ramai berkunjung ke Makam Sapuro karena ada Haul Ulama Besar yaitu Habib Ahmad bin Abdullah bin Tahlis Alattas dan rumah-rumah untuk bersilaturahmi. Tidak hanya kepada keluarga dan tetangga, tradisi ini juga menjangkau murid yang mengunjungi guru, bahkan orang yang tidak saling mengenal sekalipun. Inilah keindahan Sya’banan, sebuah tradisi yang mengajarkan arti kebersamaan dan kepedulian.

Uniknya, tradisi Sya’banan di Pekalongan tidak hanya sekadar bersilaturahmi. Setelah kegiatan haul Al-Quthb Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas dan pembacaan doa nisfu Sya’ban di Masjid Waqaf dan Masjid Roudhoh, anak-anak usia SD hingga SMA akan berkeliling dari rumah ke rumah. Mereka disambut dengan jamuan makanan ringan hingga berat, dan yang paling dinantikan adalah angpau yang diberikan oleh tuan rumah. Bayangkan, satu rumah bisa mengeluarkan uang antara Rp. 750.000 hingga Rp. 1.000.000 untuk menjamu dan memberikan angpau. Jika ada 500 rumah yang berpartisipasi, berapa besar nilai uang yang beredar dan membuat anak-anak kampung riang gembira?

Baca Juga:  Sedekah Bumi: Tradisi Syukur, Kepedulian Sosial, dan Pelestarian Alam untuk Generasi Mendatang

Tradisi Sya’banan ini bukanlah hal baru. Menurut Van Den Berg, seorang peneliti, Pekalongan merupakan tempat tinggal mayoritas Habaib pendatang awal. Tradisi ini telah berjalan setidaknya selama empat generasi. Menariknya, tradisi ini seolah menjadi ciri khas Pekalongan. karena tidak ditemukan di kelurahan lain di Kampung Arab lain di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa Sya’banan sangat mungkin merupakan peninggalan para Habaib yang dahulu tinggal dan beranak pinak di Pekalongan.

Jika kita mencari preseden langsung dari Nabi Muhammad SAW tentang tradisi Sya’banan, mungkin kita tidak akan menemukannya. Namun, tradisi ini mirip dengan tradisi Islam Nusantara lainnya, seperti tahlilan atau tingkeban. Meski tidak ada dalil spesifik, tradisi ini sebenarnya merupakan gabungan dari berbagai nilai Islam yang diajarkan oleh Nabi. Misalnya, ada dalil tentang sedekah, menghormati tamu, bersilaturahmi, menghormati orang tua, dan menyayangi yang lebih muda. Semua nilai ini disatukan dalam satu tradisi yang disebut Sya’banan.

Tradisi seperti inilah yang dahulu membuat nenek moyang kita di Nusantara dengan sukarela memeluk Islam. Mereka yang sebelumnya menyembah pohon, batu, dan roh-roh, akhirnya tertarik dengan keindahan ajaran Islam yang dibawa oleh para ulama, Habaib, dan Kyai. Islam tidak hanya diajarkan melalui teks, tetapi juga melalui praktik nyata yang menyentuh hati dan kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, Sya’banan menjadi bukti nyata bagaimana Islam Nusantara mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat.

Baca Juga:  Tradisi Lokal dan Pemaknaan Tradisi Rebo Wekasan di Pekalongan Perspektif Islam

Amaliah Nahdliyah, yang sering diidentikkan dengan tradisi tahlilan, ziarah kubur, dan peringatan hari-hari besar Islam, sejalan dengan semangat Sya’banan. Keduanya mengajarkan pentingnya menjaga silaturahmi, menghormati sesama, dan berbagi kebahagiaan. Bahkan, tradisi Sya’banan bisa dilihat sebagai bentuk perluasan dari amaliah Nahdliyah,.

Penyatuan Habaib dan Kyai dalam tradisi Sya’banan juga mencerminkan kekuatan Islam Nusantara. Kedua kelompok ini, memiliki latar belakang keilmuan sanad yang sama, mampu bersatu dalam menjaga tradisi dan nilai-nilai Islam. Habaib, yang sering diidentikkan dengan Arab, dan Kyai, yang merupakan tokoh ulama lokal, sama-sama berperan penting dalam menyebarkan Islam dengan cara yang ramah dan mengakar di masyarakat.

Tradisi Sya’banan juga mengajarkan kita bahwa Islam tidak hanya tentang ritual ibadah semata, tetapi juga tentang bagaimana membangun hubungan sosial yang harmonis. Dalam tradisi ini, kita melihat bagaimana nilai-nilai Islam diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari sedekah, menghormati tamu, hingga menjaga silaturahmi. Ini adalah bentuk Islam yang hidup dan dinamis, yang mampu beradaptasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya.

Baca Juga:  Perpaduan Islam dan Tradisi Lokal: Sebuah Studi Kasus di Kuripan Kidul dan Kertoharjo dalam Peringatan Bulan Muharram

Oleh karena itu, tradisi Sya’banan di Pekalongan patut kita jaga dan lestarikan. Ia bukan hanya sekadar warisan budaya, tetapi juga bukti nyata bagaimana Islam mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat dalam bingkai Ahlussunnah Wal Jamaah. Melalui tradisi ini, kita belajar bahwa persatuan antara Habaib dan Kyai bukanlah hal yang mustahil, karena keduanya berjalan di jalan yang sama: jalan kebenaran, kasih sayang, dan kebersamaan. Semoga tradisi ini terus hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang.