Penulis : Nadira Sya’baniyah, Editor : Sirli Amry
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragam. Keragaman ini tercermin dari berbagai hal seperti geografis, suku, ras, bahasa, dan budaya. Secara geografis, Indonesia memiliki 16.766 pulau dengan luas wilayah sekitar 1.916.906,77 km2. Selanjutnya apabila ditinjau dari suku, Indonesia mempunyai sekitar 1.340 suku yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Dari banyaknya suku yang ada di Indonesia seperti Jawa, Sunda, Dayak, Badui, Bugis, Asmat, dan lain-lain, Suku Jawa adalah suku dengan jumlah terbesar yakni hampir 41% dari total populasi Indonesia berasal dari suku tersebut. Keragaman suku di Indonesia turut menghasilkan keragaman bahasa. Diperkirakan terdapat sekitar 2.500 bahasa yang ada di Indonesia. Meskipun begitu, bahasa Indonesia tetap diakui sebagai bahasa resmi dan bahasa persatuan.
Dalam aspek agama dan kepercayaan, pemerintah Indonesia mengakui enam agama yang tersebar di Indonesia diantaranya: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu, serta beberapa aliran kepercayaan yang jumlahnya ada 187 aliran. Aturan hukum mengenai hal ini terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016. Sementara dalam aspek budaya, Indonesia dikenal kaya akan budaya, meliputi adat istiadat dan tradisi, rumah adat dan pakaian adat, maupun kesenian dari setiap daerah yang semakin memperkaya keragaman di Indonesia.
Indonesia sebagai bangsa yang plural, membuat kita tidak bisa menghindari keragaman yang ada. Dengan adanya keberagaman baik dari masyarakat maupun tradisinya mengharuskan kita patut untuk mensyukuri, merangkul, dan merawat bersama. Keberagaman sejatinya adalah sunnatullah. Dalam konteks sosial, Islam sangat menghargai keragaman. Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: ”Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Ayat ini tidak hanya ditujukan pada hamba-Nya yang beriman saja, melainkan bagi seluruh umat manusia. Pada kalimat pertama Allah menyatakan “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan.” Maksudnya adalah cikal bakal dari manusia yang beragam adalah satu yakni Nabi Adam dan Siti Hawa. Kemudian, Allah menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya mereka bisa saling mengenal sehingga mengantarkan mereka untuk saling tolong menolong satu sama lain.
Kalimat pertama pada ayat ini juga menjadi penegas bahwa semua manusia mempunyai derajat yang sama di sisi Allah. Tidak ada yang lebih istimewa antara satu suku dengan suku lainnya. Begitupun dalam konteks gender, sejatinya antara laki-laki dan perempuan derajatnya sama di mata Allah. Selanjutnya pada penggalan kalimat yang terakhir “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa” menjadi jawaban bahwa sebenarnya yang membedakan antara manusia di mata Allah hanyalah ketaqwaan kepada-Nya.
Asbabun nuzul dari ayat ini ialah berkenaan dengan riwayat yang menceritakan Abu Hind yang merupakan seorang pembekam. Diceritakan bahwa suatu hari, Rasulullah berkunjung kepada Bani Bayadhah dan meminta kepada mereka agar mau menikahkan salah satu putrinya dengan Abu Hind. Namun mereka malah menolak dengan mengatakan tidak pantas jika mereka menikahkan putrinya dengan seseorang yang merupakan bekas budak mereka. Sikap mereka yang demikian kemudian dikecam oleh Allah, sehingga turunlah QS. AL-Hujurat ayat 13 ini. Poin penting yang bisa diambil dari ayat ini adalah kemuliaan seseorang di mata Allah tidaklah dinilai dari garis nasab/gelar kebangsawanannya, melainkan dinilai dari tingkat ketaqwaannya.
Mengutip dari tafsir ibnu katsir, kata syu’ub pada ayat tersebut diartikan sebagai orang non Arab, sedangkan kata Qabail berarti orang Arab. Begitupun juga menurut Imam At-Thabari dalam tafsirannya yang mengemukakan bahwa kata syu’ub berarti keturunan jauh. Sedangkan kata Qabail berarti keturunan dekat. Adapun kata ‘arafa mengandung arti saling mengenal. Semakin kita kenal terhadap sesama, maka peluang bagi kita untuk bisa saling menebar manfaat juga semakin besar. Dengan wasilah saling mengenal, bermanfaat juga bagi kita untuk bisa saling mengambil hikmah dan pengalaman untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Allah SWT.
Ayat ini diakhiri dengan firman Allah yang artinya “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” Maksudnya, Allah bersifat Maha Mengetahui dan Maha Mengenal terhadap sesuatu yang sulit diketahui dan dinalar manusia. Hal ini termasuk ketaqwaan manusia di sisi Allah yang merupakan hal yang sukar diketahui dan dinilai manusia. Karena kualitas ketaqwaan seseorang hanya Dia-lah yang mengetahui.
Al-Qur’an mengakui keragaman bukan hanya pada ranah sosial saja, namun juga mencakup perihal agama. Seperti yang Tertuang dalam firman Allah QS. Yunus ayat 99:
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
Artinya: “Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin?”
Merujuk juga pada QS. Al-Kafirun ayat 6:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ
Artinya: ”Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Asbabun nuzul dari ayat ini ialah bentuk penolakan Rasulullah terhadap ajakan dan tawaran kafir Quraisy untuk bertukar kepercayaan. Ayat ini secara tersirat juga menegaskan bahwa pada dasarnya Islam disebarkan bukan dengan tipu muslihat atau bujuk rayu seperti halnya yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy. Meskipun demikian, Islam tidak melarang umatnya untuk berinteraksi dengan orang-orang non muslim. Toleransi dalam hal ini samgat dianjurkan oleh Allah, asal tidak mencampuradukkan keimanan dengan kepercayaan terhadap agama lain. Sebab hal yang semacam itu mendekatkan kita pada jurang kesyirikan. Walaupun begitu, kita sebagai seorang muslim tetap harus menghormati keberadaan agama lain. Biarkan mereka menjalankan agamanya masing-masing, karena setiap yang beragama punya hak untuk menjalankan agamanya.
Dalam QS. Al-Maidah ayat 8 Allah juga menegaskan lebih lanjut mengenai anjuran bagi seorang muslim untuk bermuamalah dengan orang-orang non muslim dengan mengedepankan sikap adil dan toleran. Berikut Firman Allah:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Islam sangat mengajarkan umatnya untuk memahami nilai-nilai toleransi, kesetaraan dan keadilan serta kasih sayang kepada sesama. Ajaran tersebut sudah ada bahkan sejak era Rasulullah bermukim di Madinah. Buktinya ada pada Piagam Madinah yang berisi bahwasannya setiap individu dalam masyarakat Madinah mempunyai hak, kebebasan, dan jaminan perlindungan yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa Rasulullah mengakui keberadaan masyarakat lain dengan latar belakang agama yang berbeda. Rasulullah juga mengajarkan kepada kaum muslim tentang sikap toleransi agar bisa hidup berdampingan dalam harmoni. Misi Islam rahmatan lil alamin harus di gelorakan agar keutuhan NKRI tetap terjaga dengan baik.
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika walaupun tidak berasal dari falsafah Islam, melainkan lahir dari falsafah Nusantara. Secara konsep, semboyan ini mempunyai makna tidak jauh berbeda dengan piagam Madinah yang dibuat oleh Rasulullah. Keduanya sama-sama mengakui dan menghargai keragaman yang ada dan menjadikan keragaman tersebut sebagai basis untuk saling memperkuat persatuan agar bisa mencapai tujuan bersama. Hal ini selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an mengenai pluralitas dan bagaimana kita sebagai seorang muslim menyikapi hal tersebut.
Islam dengan berlandaskan al-Qur’an sangat menghargai adanya perbedaan dalam bingkai keragaman. Nilai-nilai Qur’an tersebut relevan apabila diimplementasikan di Indonesia dengan melihat konteksnya yang kaya akan keragaman. Implementasi nilai Qur’an ini sangat krusial demi terwujudnya integrasi sosial. Integrasi sosial memiliki peluang dan tantangan tersendiri. Oleh karenanya, keragaman harus dijaga dan dirawat dengan baik, sehingga dengan demikian keragaman bisa menjadi basis kekuatan dan persatuan bangsa.