Penulis: Nadira Sya’baniyah, Editor: Azzam Nabil Hibrizi
Dalam sejarah Islam, Isra’ Mi’raj merupakan salah satu peristiwa yang sarat akan makna spiritual. Masyarakat muslim pada umumnya mengetahui peristiwa Isra’ Mi’raj ialah sebuah perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. atas perintah Allah swt. Dengan didampingi malaikat Jibril, Rasulullah melakukan perjalanan malam dengan mengendarai Buraq dari Masjidil Haram yang terletak di Mekkah menuju Masjidil Aqsha yang terletak di Yerusalem (Sekarang Palestina), kemudian dilanjut naik ke langit menuju Sidratul Muntaha, dan menerima perintah shalat.
Kita bisa memetik hikmah dan ibrah (pelajaran) dari peristiwa isra’ mi’raj yang dialami Rasulullah saw. Seperti diantaranya nilai musyawarah untuk mendapatkan solusi terbaik yang beliau contohkan dengan Nabi Musa as., serta nilai kasih sayang yang dimiliki Rasulullah dan diberikan kepada umatnya dengan negosiasi Rasulullah kepada Allah swt. terkait perintah shalat. Selain itu, melalui peristiwa ini Allah swt. memberikan anugerah bagi umat-Nya yang dicontohkan kepada diri Nabi Muhammad saw. Saat itu Rasulullah sedang menghadapi ujian berat karena ditinggal oleh pamannya Abu Thalib dan istri tercintanya Khadijah yang terjadi dalam waktu berdekatan. Hingga tahun terjadinya peristiwa tersebut dinamakan sebagai ‘Amul Khusni. Atas kejadian tersebut, Allah menjadikan peristiwa isra’ mi’raj ini sebagai penghibur Rasulullah yang sedang berduka. Dengan terjadinya peristiwa isra’ mi’raj yang kemudian menjadi tonggak atas turunnya perintah sholat lima waktu, serta menjadikan sholat sebagai ibadah yang wajib dilaksanakan umat Islam dan akan menjadi sebuah pertanggung jawaban yang ditanyakan di yaumil kiyamah kelak.
Dari peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut ternyata bukan hanya sebuah kejadian yang memiliki makna spiritual saja. Namun, Isra’ Mi’raj juga bisa dikaji melalui paradigma sains. Kajian inilah yang kemudian dapat menjadi bahan berpikir kritis anak muda kedepannya mengenai peristiwa-peristiwa bernuansa agamis yang tidak hanya dipandang dari segi agamanya saja, namun juga dapat dipandang melalui kacamata sains atau ilmu pengetahuan umum.
Apabila ditinjau dari Firman Allah swt. Qs. Al- Isra ayat 1 yang membahas mengenai peristiwa isra’, jelas Allah sebutkan dalam firman-Nya peristiwa luar biasa tersebut terjadi pada malam hari. Mengapa harus malam hari? Dan bagaimana mungkin perjalanan jauh semacam itu bisa ditempuh dalam waktu singkat (hanya semalam) saja? Beberapa pertanyaan ini mungkin pernah terbesit dibenak umat islam yang memiliki pemikiran kritis. Oleh karena itu, pendekatan sains merupakan salah satu langkah dalam menjawab beberapa pertanyaan tersebut.
Dalam ilmu fisika modern, kecepatan cahaya menjadi kecepatan paling tinggi. Tidak akan pernah ada benda yang bergerak dengan kecepatan setara atau bahkan melebihi kecepatan cahaya. Suatu benda yang mana benda tersebut bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya akan mengalami perubahan waktu dan massa. Jika merujuk pada teori relativitas cahaya, massa benda yang bergerak dengan kecepatan cahaya akan mengalami penambahan massa dari massa semula. Massa suatu benda berubah menjadi tidak terhingga dari semula keadaan diam hingga bergerak dengan kecepatan gerak mendekati kecepatan cahaya.
Dalam al-Qur’an ada beberapa peristiwa luar biasa yang apabila diamati ternyata berkaitan dengan teori relativitas ini. Salah satu peristiwa mengenai hal tersebut yang Qur’an ceritakan adalah peristiwa isra’ dan mi’raj. Pada Qs. Al-Isra’ ayat 1 terdapat kata asraa’ yang memiliki arti telah diperjalankan. Peristiwa isra’ ini tidak serta merta terjadi atas dasar kemampuan Rasulullah, namun ada campur tangan kehendak dan kekuasaan dari Allah. Dengan begitu, Allah kemudian mengutus malaikat Jibril untuk menghadap Nabi dan mengajak beliau untuk melakukan perjalanan jauh dengan mengendarai Buraq.
Kita sebagai umat Islam percaya bahwa malaikat itu terbuat dari cahaya, begitu-pun dengan Buraq yang juga terbuat dari cahaya. Maka tidak heran, jika Jibril mampu membawa Rasulullah dengan perantara Buraq melintasi ruang dan waktu dalam sekejap saja karena kecepatannya mendekati atau bahkan bisa dianggap setara dengan kecepatan cahaya.
Dalam ayat pertama surat al-Isra’ tersebut juga terdapat kata lailan yang mempunyai makna malam. Jadi, peristiwa isra’ disini terjadi pada waktu malam hari. Bisa dibayangkan apabila Nabi melakukan isra’ di siang hari dengan keadaan besarnya radiasi sinar matahari. Hal ini tentu sangat membahayakan diri Rasulullah yang bukan terbuat dari cahaya. Sehingga pemilihan waktu pada malam hari dirasa sangat tepat.
Adapun yang menarik untuk dikulik juga dari dua peristiwa luar biasa yang dialami Rasulullah tersebut ialah Buraq, kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad ketika peristiwa tersebut berlangsung. Jika kita mengadopsi teori Heisenberg untuk menganalisis keterkaitan antara peristiwa isra’ dan mi’raj dengan teori fisika dalam sains, maka ditemukan batasan ketidakpastian pada saat mengukur dan memahami Buraq sebagai entitas energi.
Sehingga apabila kita mengukur Buraq sebagai sebuah entitas, bisa saja melebihi batasan yang sudah ada dalam fisika konvensional. Jadi, prinsip ketidakpastian ini mengakui bahwa kita sebagai manusia biasa punya keterbatasan pemahaman dalam upaya memahami entitas energi seperti Buraq, sebab keberadaannya dan unsur-unsur yang meliputinya bisa jadi melebihi pemahaman kita yang sifatnya terbatas dalam memahami fenomena-fenomena ghaib.
Terakhir, apabila kita mengacu pada konsep time travel Stephen Hawking yang berbicara mengenai kemungkinan melakukan perjalanan lintas waktu, sebagaimana yang sering kita lihat pada film-film bernuansa fiksi. Menurut Hawking, terdapat jalur yang bisa menghubungkan lintas ruang dan waktu, sehingga seseorang mungkin bisa berpindah dari satu waktu ke waktu lain.
Tetapi dalam hal ini, tetap saja kita memerlukan bantuan teknologi yang sangat canggih untuk bisa mencapai hal tersebut. Bahkan, sampai sekarang belum ada teknologi yang bisa menghantarkan umat manusia untuk berpindah ke lintas waktu. Alhasil, konsep ini masih dianggap hanya spekulasi yang sulit direalisasikan. Ini membuktikan bagaimana kebesaran dan keagungan Allah yang telah memperjalankan hamba terkasihnya Muhammad saw. dengan waktu yang begitu singkat.
Darisinilah kemudian paradigma harmonisasi sains dan agama diperlukan dalam memahami sebuah peristiwa yang bersifat spiritual yang kemudian dapat membuka pola pikir baru yang lebih holistik, komprehensif, dan kontekstual. Pandangan sains memberikan perspektif kritis yang lebih rasional dalam membaca fenomena-fenomena alam yang bersifat transendental. Hal ini memungkinkan kita untuk menjadikan agama dan sains, yang sebelumnya dikatakan saling bertentangan beralih menjadi sebuah sudut pandang yang harmonis dan saling melengkapi. Pendekatan harmonisasi sains dan agama juga membantu umat Islam, khususnya generasi muda, untuk merancang pola pikir kritis dan analitis. Dengan demikian anak muda akan menjadi lebih mantap dalam meyakini hal-hal yang berkaitan dengan agama dan memperlancar pemahaman yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, D. (2023). MEMAHAMI ISRA ’ MI ’ RAJ MELALUI KONSEP TIME TRAVEL.
Albayrak, I., & Shueily, S. Al. (2022). Re-Evaluating the Notion of Isrâ and Mi’râj in Ibadi Tradition: With Special References to the Modern Sirah Readings. Religions, 13(10), 1–17. https://doi.org/10.3390/rel13100990
Celina, F. M., & Suprapto, N. (2020). Study of Relativity Theory of Einstein: The Story of Ashabul Kahf and Isra’ Mi’raj. Studies in Philosophy of Science and Education, 1(3), 118–126. https://doi.org/10.46627/sipose.v1i3.48
Devira Ul’ya Nafisa. (20 C.E.). ANALISIS WACANA KRITIS ATAS PENAFSIRAN RUANG ANGKASA DALAM TAFSIR RAHMAT KARYA OEMAR BAKRY. Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology., 1–18.
Febri, I. W. N., & Muttaqien, M. (2023). Peradaban Islam Era Nabi Muhammad S.A.W. Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 5(3), 2417–2428. https://doi.org/10.34007/jehss.v5i3.1641
Fitri, A., Aprida, D., Susanty, N., Fadhila Maulidah, N., Santi, N., & Nuriyah, S. (2023). Telaah Teori Relativitas Khusus Dalam Perpsektif Sains Dan Al-Qur’an. Jurnal Religion: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya, 1(2), 348–359. https://maryamsejahtera.com/index.php/Religion/index
Herdianti, D., Nisa, D. M. U., Kusniah, K., Puadah, D., Alviandi, R., Suhendi, A., Rahmatillah, A. M., & Muhria, L. (2023). Peringatan Hari Besar Islam Dalam Meningkatkan Sikap Keberagaman Masyarakat Di Desa Cidenok. MESTAKA: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(2), 83–87. https://doi.org/10.58184/mestaka.v2i2.35
Indah Fitriya, N., Rahmawati, N., Syamsul Arifin, A., Bahasa Asing, J., Bahasa dan Seni, F., & Negeri Semarang, U. (2021). PEMAHAMAN ISRO’ MI’ROJ DALAM AL-QURAN. 10(2), 89–95. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/laa
Istiqomah, H., & Sholeh, M. I. (2020). The Concept of Buraq in the Events of Isra’ Mi’raj: Literature and Physics Perspective. AJIS: Academic Journal of Islamic Studies, 5(1), 53. https://doi.org/10.29240/ajis.v5i1.1373
Rahmati, R. (2018). The Journey of Isra’ and Mi’Raj in Quran and Science Perspective. Ar Raniry : International Journal of Islamic Studies, 4(2), 323. https://doi.org/10.20859/jar.v4i2.143
Shihab, Q. (2009). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Lentera Hati.
Viera Valencia, L. F., & Garcia Giraldo, D. (2019). Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Peristiwa Isra Mikraj Perspektif Al Qur’an Dan Hadis Sahih. Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 2(2), 40–73.
Yunita, Y. (2021). Peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW dan Pembelajarannya. Dewantara, 11(1), 125–131.
Zuhaili, W. (2014). Tafsir al Munir. Dar al Fikr.