Rekonstruksi Pemahaman Isra’ Mi’raj: Perspektif Interdisipliner Al-Qur’an dan Sains Untuk Generasi Muda

Penulis: Nadira Sya’baniyah, Editor: Azzam Nabil Hibrizi

Dewasa ini pemahaman mayoritas muslim, khususnya generasi muda mengenai isra’ mi’raj masih sebatas pemahaman dogmatis bersifat transendental yang pengkajiannya hanya melalui pendekatan agama saja. Padahal sudah banyak teori-teori sains yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut sangat saintifik, tidak hanya transendental.

Peristiwa isra’ mi’raj sendiri merupakan suatu peristiwa penting sepanjang sejarah Islam yang sarat akan makna spiritual dan sudah mendarah daging dalam tradisi keagamaan masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Peristiwa isra’ mi’raj bagi masyarakat umumnya identik dengan peristiwa dimana Nabi Muhammmad saw. yang didampingi malaikat Jibril melakukan suatu perjalanan malam dengan mengendarai Buraq dari Masjidil Haram yang terletak di Mekkah menuju Masjidil Aqsha yang terletak di Yerussalem (Sekarang Palestina), kemudian dilanjut naik ke langit menuju Sidratul Muntaha.

Kita bisa memetik hikmah dan ibrah (pelajaran) dari peristiwa isra’ mi’raj yang dialami Rasulullah saw. Nilai-nilai yang diantaranya bisa dijadikan ibrah mulai dari nilai kejujuran yang selalu melekat dalam diri Rasulullah, nilai musyawarah untuk mendapatkan solusi terbaik yang beliau contohkan dengan Nabi Musa as., serta nilai kasih sayang. Nilai kasih sayang disini bukan hanya bisa dilihat dari sikap Rasulullah yang mau bolak-balik bernegosiasi dengan Allah untuk meminta keringanan bagi umat beliau.

Namun, nilai kasih sayang itu juga bisa dilihat dari bagaimana Allah memberikan anugerah bagi umat-Nya yang Ia contohkan kepada diri Muhammad saw. Saat itu Rasulullah sedang menghadapi ujian berat karena ditinggal oleh pamannya Abu Thalib dan istri tercintanya Khadijah (disebut ‘amul khusni). Sehingga Allah menjadikan peristiwa isra’ mi’raj ini sebagai penghibur Rasulullah yang sedang dirundung duka lara. Selain itu, peristiwa isra’ mi’raj ini juga menjadi bukti sekaligus penguat betapa penting dan utamanya ibadah salat 5 waktu ini. Bahkan salat diibaratkan sebagai tiangnya agama, dan salat merupakan amalan yang pertama kali akan dihisab di yaumul qiyamah kelak.

Hanya sebatas itulah peristiwa isra’ mi’raj dipahami oleh sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia. Padahal jika kita resapi dan pahami lebih dalam, kajian ilmiah terkait peristiwa isra’ mi’raj ini tidak melulu berkutat pada pembahasan mengenai salat dan keutamannya saja. Tetapi bisa lebih luas dari pada itu. Terlebih bagi generasi muda yang saat ini hidup dalam realitas modern dan harus menghadapi tantangan dari pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Maka, dalam konteks saat ini dibutuhkan sebuah pendekatan baru yang lebih relevan untuk menyingkap makna lain dibalik peristiwa isra’ mi’raj yang notabene-nya wajib diimani oleh setiap muslim. Pendekatan sains dengan berbagai metode dan teori dipandang dapat mengungkap realitas bagaimana fenomena alam yang pernah ada bisa terjadi, bahkan fenomena alam yang sulit dicerna akal sekalipun. Hal ini menyebabkan banyak fenomena alam yang pernah terjadi dan sebelumnya hanya dianggap sebagai sebuah mitos belakangan ini menemukan titik terang karena ternyata bisa dijelaskan melalui pendekatan sains.

Peristiwa isra’ mi’raj ini termasuk dalam peristiwa yang secara tidak langsung bersinggungan dengan sains. Bagaimana tidak, apabila kita cermati Qs. Al- Isra ayat 1 yang membahas mengenai peristiwa isra’, jelas Allah sebutkan dalam firman-Nya peristiwa luar biasa tersebut terjadi pada malam hari. Mengapa harus malam hari? Dan bagaimana mungkin perjalanan jauh semacam itu bisa ditempuh dalam waktu singkat (hanya semalaman) saja? Mungkin di benak sebagian orang yang berpikiran kritis akan muncul pertanyaan seperti yang telah disebutkan diatas. Nah, pertanyaan-pertanyaan tadi di era pesatnya ilmu pengetahuan seperti sekarang ini bisa dicarikan jawabannya melalui pendekatan sains.

Dalam ilmu fisika modern, kecepatan cahaya menjadi kecepatan paling tinggi. Teori-teori fisika mengenai cahaya menyebut tidak akan pernah ada benda yang bergerak dengan kecepatan setara atau bahkan melebihi kecepatan cahaya. Suatu benda yang mana benda tersebut bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya akan mengalami perubahan waktu dan massa. Jika merujuk pada teori relativitas cahaya, massa benda yang bergerak dengan kecepatan cahaya akan mengalami penambahan massa dari massa semula. Massa suatu benda berubah menjadi tidak terhingga dari semula keadaan diam hingga bergerak dengan kecepatan gerak mendekati kecepatan cahaya.
Dalam al-Qur’an ada beberapa peristiwa luar biasa yang apabila diamati ternyata berkaitan dengan teori relativitas ini. Salah satu peristiwa mengenai hal tersebut yang Qur’an ceritakan adalah peristiwa isra’ dan mi’raj. Pada Qs. Al-Isra’ ayat 1 terdapat kata asraa’ yang memiliki arti telah diperjalankan. Peristiwa isra’ ini tidak serta merta terjadi atas dasar kemampuan Rasulullah, namun ada campur tangan kehendak dan kekuasaan dari Allah. Dengan begitu, Allah kemudian mengutus malaikat Jibril untuk menghadap Nabi dan mengajak beliau untuk melakukan perjalanan jauh dengan mengendarai Buraq.

Kita sebagai umat Islam percaya bahwa malaikat itu terbuat dari cahaya, begitu-pun dengan Buraq yang juga terbuat dari cahaya. Maka tidak heran, jika Jibril mampu membawa Rasulullah dengan perantara Buraq melintasi ruang dan waktu dalam sekejap saja karena kecepatannya mendekati atau bahkan bisa dianggap setara dengan kecepatan cahaya.

Dalam ayat pertama surat al-Isra’ tersebut juga terdapat kata lailan yang mempunyai makna malam. Jadi, peristiwa isra’ disini terjadi pada waktu malam hari. Bisa dibayangkan apabila Nabi melakukan isra’ di siang hari dengan keadaan besarnya radiasi sinar matahari. Hal ini tentu sangat membahayakan diri Rasulullah yang bukan terbuat dari cahaya. Sehingga pemilihan waktu pada malam hari dirasa sangat tepat.

Adapun yang menarik untuk dikulik juga dari dua peristiwa luar biasa yang dialami Rasulullah tersebut ialah Buraq, kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad ketika peristiwa tersebut berlangsung. Jika kita mengadopsi teori Heisenberg untuk menganalisis keterkaitan antara peristiwa isra’ dan mi’raj dengan teori fisika dalam sains, maka ditemukan batasan ketidakpastian pada saat mengukur dan memahami Buraq sebagai entitas energi.

Sehingga apabila kita mengukur Buraq sebagai sebuah entitas, bisa saja melebihi batasan yang sudah ada dalam fisika konvensional. Jadi, prinsip ketidakpastian ini mengakui bahwa kita sebagai manusia biasa punya keterbatasan pemahaman dalam upaya memahami entitas energi seperti Buraq, sebab keberadaannya dan unsur-unsur yang meliputinya bisa jadi melebihi pemahaman kita yang sifatnya terbatas dalam memahami fenomena-fenomena ghaib.

Terakhir, apabila kita mengacu pada konsep time travel Stephen Hawking yang berbicara mengenai kemungkinan melakukan perjalanan lintas waktu, sebagaimana yang sering kita lihat pada film-film bernuansa fiksi. Menurut Hawking, terdapat jalur yang bisa menghubungkan lintas ruang dan waktu, sehingga sesorang mungkin bisa berpindah dari satu waktu ke waktu lain.

Tetapi dalam hal ini, tetap saja kita memerlukan bantuan teknologi yang sangat canggih untuk bisa mencapai hal tersebut. Bahkan, sampai sekarang belum ada teknologi yang bisa menghantarkan umat manusia untuk berpindah ke lintas waktu. Alhasil, konsep ini masih dianggap hanya spekulasi yang sulit direalisasikan. Ini membuktikan bagaimana kebesaran dan keagungan Allah yang telah memperjalankan hamba terkasihnya Muhammad saw. dengan waktu yang begitu singkat.

Dari penjabaran diatas, bisa kita ketahui bersama bahwa peristiwa isra’ mi’raj mengandung unsur-unsur metaforis yang menjadi simbol kasih sayang dan kebesaran Allah Swt. Mengkaji isra’ mi’raj dengan kaca mata lain menghilangkan paradigma dogmatis kita yang secara serta merta menerima segala hal yang berasal dari agama, dan menganggap mengakaji atau mengkritisi hal tersebut sesuatu yang menyalahi dan dilarang.
Padahal kita sebagai generasi muda harus mampu menyelaraskan antara pemahaman agama yang berasal dari al-Qur’an dengan pemahaman umum, sesuai dengan jargon al-Qur’an yang dianggap shalih li kulli zaman wa makan. Dengan begitu, al-Qur’an bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan problem umat masa kini yang lebih kompleks ketimbang problem yang terjadi pada zaman dahulu.

Melakukan upaya rekonstruksi terhadap pemahaman mengenai isra’ mi’raj melalui perspektif sains dinilai penting untuk dilakukan guna membuka paradigma baru yang lebih holistik, komprehensif, dan kontekstual. Perspektif sains memberikan pandangan kritis yang lebih rasional dalam membaca fenomena-fenomena alam yang bersifat transendental.

Selain itu, bukan hanya memperluas pemahaman dan membuka paradigma baru saja, tetapi upaya pengkaitan interdisipliner tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa agama dan sains bukanlah dikotomi yang saling bertentangan, sebab bisa diintegrasikan. Dengan demikian, keraguan yang mungkin muncul pada saat melakukan upaya untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan agama bisa dihindari dan ditemukan jawabannya.
Pendekatan interdisipliner yang mengkaitkan antara al-Qur’an dan Sains juga membantu umat Islam, terutama bagi generasi mudanya untuk mengembangkan pola pikir kritis dan analitis mereka. Dengan begitu, mereka akan lebih mantap dalam meyakini hal-hal yang berkaitan dengan agama, yang sebelumnya sukar dinalar.

DAFTAR PUSTAKA

Aceh, D. (2023). MEMAHAMI ISRA ’ MI ’ RAJ MELALUI KONSEP TIME TRAVEL.
Albayrak, I., & Shueily, S. Al. (2022). Re-Evaluating the Notion of Isrâ and Mi’râj in Ibadi Tradition: With Special References to the Modern Sirah Readings. Religions, 13(10), 1–17. https://doi.org/10.3390/rel13100990
Celina, F. M., & Suprapto, N. (2020). Study of Relativity Theory of Einstein: The Story of Ashabul Kahf and Isra’ Mi’raj. Studies in Philosophy of Science and Education, 1(3), 118–126. https://doi.org/10.46627/sipose.v1i3.48
Devira Ul’ya Nafisa. (20 C.E.). ANALISIS WACANA KRITIS ATAS PENAFSIRAN RUANG ANGKASA DALAM TAFSIR RAHMAT KARYA OEMAR BAKRY. Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology., 1–18.
Febri, I. W. N., & Muttaqien, M. (2023). Peradaban Islam Era Nabi Muhammad S.A.W. Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 5(3), 2417–2428. https://doi.org/10.34007/jehss.v5i3.1641
Fitri, A., Aprida, D., Susanty, N., Fadhila Maulidah, N., Santi, N., & Nuriyah, S. (2023). Telaah Teori Relativitas Khusus Dalam Perpsektif Sains Dan Al-Qur’an. Jurnal Religion: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya, 1(2), 348–359. https://maryamsejahtera.com/index.php/Religion/index
Herdianti, D., Nisa, D. M. U., Kusniah, K., Puadah, D., Alviandi, R., Suhendi, A., Rahmatillah, A. M., & Muhria, L. (2023). Peringatan Hari Besar Islam Dalam Meningkatkan Sikap Keberagaman Masyarakat Di Desa Cidenok. MESTAKA: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(2), 83–87. https://doi.org/10.58184/mestaka.v2i2.35
Indah Fitriya, N., Rahmawati, N., Syamsul Arifin, A., Bahasa Asing, J., Bahasa dan Seni, F., & Negeri Semarang, U. (2021). PEMAHAMAN ISRO’ MI’ROJ DALAM AL-QURAN. 10(2), 89–95. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/laa
Istiqomah, H., & Sholeh, M. I. (2020). The Concept of Buraq in the Events of Isra’ Mi’raj: Literature and Physics Perspective. AJIS: Academic Journal of Islamic Studies, 5(1), 53. https://doi.org/10.29240/ajis.v5i1.1373
Rahmati, R. (2018). The Journey of Isra’ and Mi’Raj in Quran and Science Perspective. Ar Raniry : International Journal of Islamic Studies, 4(2), 323. https://doi.org/10.20859/jar.v4i2.143
Shihab, Q. (2009). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Lentera Hati.
Viera Valencia, L. F., & Garcia Giraldo, D. (2019). Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Peristiwa Isra Mikraj Perspektif Al Qur’an Dan Hadis Sahih. Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 2(2), 40–73.
Yunita, Y. (2021). Peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW dan Pembelajarannya. Dewantara, 11(1), 125–131.
Zuhaili, W. (2014). Tafsir al Munir. Dar al Fikr.