Penulis : Nadira Sya’baniyah
Problematika seputar kesetaraan gender memang menjadi topik yang selalu menarik dan tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas dan dikaji, terlebih bagi seorang muslim. Sekalipun oleh masyarakat muslim di negara yang sudah menjunjung tinggi prinsip kesetaraan gender dalam kebijakan-kebijakannya seperti di Indonesia. Namun demikian, bila kita melihat pada kancah ruang lingkup yang lebih besar, realitanya masih banyak negara muslim yang masih mempertahankan kultur patriarki terutama negara di timur tengah. Padahal esensi dari prinsip kesetaraan ini penting untuk diterapkan oleh seluruh umat tanpa terkecuali.
Prinsip kesetaraan gender memandang setiap orang itu punya hak yang sama sebagai manusia, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Oleh sebab itu, tidak ada dari keduanya yang merasa lebih unggul dibanding lainnya. Namun pada kasus-kasus yang ada, tidak bisa dipungkiri penyimpangan akan hal tersebut masih sering terjadi. Problem ketidakadilan gender masih banyak dan bahkan kenyataanya lebih sering menimpa kaum perempuan, mulai dari problem mengenai subordinasi, stereotif negatif, beban ganda, sampai pada kekerasan baik dalam bentuk fisik atau verbal. Mereka yang lebih tendensius pada kultur patriarki memandang bahwa memang sudah menjsdi kodrat bahwa kedudukan perempuan itu dibawah laki-laki (Sutrisno & Salsabela, 2023).
Padahal singkat asumsi penulis, kesetaraan gender yang sedang gencar digaungkan ini bukan ingin berambisi menjadikan kaum perempuan mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi dibanding laki-laki. Namun secara substansi, kesetaraan gender menjadi sebuah upaya untuk menuntut persamaan hak dan menghapus pandangan yang lebih dominan memihak pada kaum laki-laki saja. Hal tersebut menjadi upaya agar setiap orang terjaga secara haknya sebagai manusia, dan agar mereka lebih bisa menjunjung tinggi nilai humanisme yang berpegang pada prinsip memanusiakan manusia. Sebab sejatinya, bukan perbedaan gender yang membedakan manusia dihadapan Allah, melainkan hanya ketakwaanlah yang menjadi pembeda diantara keduanya.
Dalam konteks ini, bila mengacu pada pemikiran kritis Fatima Mernissi yang tak lain merupakan seorang feminis muslim berkebangsaan Maroko, didapat bahwa ia mengkritisi budaya patriarki yang masih mengakar kuat dalam sendi-sendi masyarakat muslim terutama di wilayah Timur Tengah, termasuk Maroko tanah kelahirannya. Ia berpandangan bahwa sebenarnya budaya patriarki bukan lahir dari perbedaan kodrat yang diyakini oleh masyarakat sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Tetapi, budaya patriarki yang sampai saat ini masih tetap eksis lahir tidak lain dari hasil interpretasi yang cenderung bias dalam menafsirkan teks agama, sehingga melahirkan tradisi masyarakat yang acap kali merendahkan kaum perempuan.
Mernissi sering menggencarkan melalui karya-karyanya mengenai perlunya meluruskan pemahaman yang keliru dan berakibat pada tindakan merendahkan kaum perempuan. Menurutnya, agama bukanlah sebuah alat penindasan. Melainkan agama membawa kita pada prinsip kebebasan manusia, dan Allah telah mengatur hal tersebut sedemikian adilnya dalam teks suci Al-Qur’an. Keserataan gender dalam hal ini bukan sekedar menjadi sebuah upaya menuntut hak, namun juga sekaligus implementasi dari nilai-nilai Islam itu sendiri yang dengan tegas menjunjung tinggi keadilan dan persamaan hak tanpa memandang perbedaan jenis kelamin.
Oleh karenanya dalam artikel ini, fokus kajian penulis adalah mengenai pemikiran kritis dari Fatima Mernissi yang banyak menyoal isu-isu kesetaraan gender. Pertama-tama penulis akan menjabarkan mengenai biografi dari Fatima Mernissi yang meliputi profil, latar belakang, pendidikan, dan karya-karya beliau. Setelah itu, penulis akan menjabarkan gagasan atau pemikiran dari Fatima Mernissi yang berkaitan dengan konsep kesetaraan gender. Kemudian pembahasan yang teakhir berisi hasil analisis penulis dalam merespons pemikiran beliau.
Biografi Fatima Mernissi
Fatima Mernissi, salah satu tokoh feminis muslim yang lahir di Fez, Maroko pada tahun 1940. Ia lahir dan tumbuh di lingkungan yang dikenal dengan istilah harem, yang mana dalam lingkungan tersebut ruang gerak dengan dunia luar bagi kaum perempuan sangat dibatasi. Kondisi semacam inilah yang mulai memunculkan keresahan dalam diri Mernissi melihat kultur patriarki nyata masih berurat akar ditempat tinggalnya. Meskipun harus tinggal dalam ruang lingkup harem, tetapi Mernissi menjadi salah satu anak perempuan yang beruntang karena masih bisa memperoleh pendidikan yang mana pada saat itu menjadi sesuatu yang sangat kontra di kalangan masyarakat (Sutrisno & Salsabela, 2023).
Awal mulanya, Mernissi mendapatkn pendidikan pertamanya dari neneknya yaitu Lalla Yasmina. Pendididkan yang diterimanya memang bukan pendidikan berbasis formal, karena neneknya hanya memberikan wawasan seputar sejarah Islam yang mencakup kisah perjalanan Rasulullah Saw. dalam berdakwah dan melihat bagaimana kondisi perempuan yang hidup pada zaman tersebut. Ajaran-ajaran seputar sejarah Islam yang diberikan neneknya inilah yang telah berhasil membuka pandangannya untuk lebih jauh mengulik mengenai hal-hal yang bekaitan dengan isu-isu gender tradisional yang cenderung kaku dan otoriter.
Ia juga mendapat pendidikan pertamanya dari ibunya, yang mengajarkan agar dirinya menjadi pribadi yang mandiri dan bijak menyikapi problem yang ada. Oleh karena mendapat pendidikan dari nenek dan ibunya inilah Mernissi kemudian tumbuh menjadi perempuan yang kritis dan peka terhadap problem-problem ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Nenek dan ibu Mernissi mempunyai pandangan yang demikian, karena mereka berada di Maroko yang pada saat itu masyarakatnya banyak dijangkiti pemahaman keliru dalam memandang perempuan. Pemahaman yang berkembang pada saat itu menganggap bahwa perempuan tidak lebih dari sekedar anak ataupun istri yang berada dibawah belenggu kekuasaan laki-laki, baik itu hak, peran, maupun kedudukannya.
Fatima Mernissi juga pernah mengenyam pendidikan Al-Qur’an di Fez, Maroko. Keluarganya yang mempunyai pandangan visioner ke depan juga pada akhirnya menyekolahkan Mernissi di salah satu sekolah Perancis-Arab Modern di Fez. Kemudian ia berhasil menyelesaikan studinya yang berfokus dalam bidang politik dan sosiologi di Rabat, Maroko. Pasca lulus dari studinya sekitar tahun 1874-1980, beliau mengajar di universitas tempatnya menimba ilmu dahulu sebelum melanjutkan studi doktoralnya ke Amerika Serikat.
Perspektif Fatima Mernissi dalam Mengkaji Kesetaraan Gender Berbasis Al-Qur’an
Kesetaraan gender sebenarnya erat kaitannya dengan feminisme. Definisi dari feminisme sendiri adalah gerakan dari kaum perempuan yang menuntut adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Studi mengenai gender pada mulanya diawali sejak tahun 1960-an yang juga dibarengi dengan gerakan feminisme yang sebagaimana disebutkan sebelumnya menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Melihat realita yang ada, problem dehumanisasi terhadap kaum perempuan ini tidak hanya terjadi di dunia Barat. Namun, ternyata banyak juga terdapat di daerah Timur Tengah yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
Padahal bila kita lebih teliti lagi dalam membaca dan mendalami ayat-ayat Al-Qur’an, dapat kita ketahui bahwa sebenarnya kedudukan manusia adalah sama di hadapan Tuhan, tidak terkecuali laki-laki atau perempuan. Yang membedakan dari keduanya bukan berasas pada perbedaan jenis kelamin, tetapi pada kualitas ketakwaannya sebagai seorang hamba (Mubarok, MF, 2022). Hal ini sangat relevan dengan apa yang Allah katakan dalam firman-Nya QS. Al-Hujurat ayat 13:
﴿ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ﴾
Terjemahan Kemenag 2019
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.
Konsep kesetaraan gender menghendaki kondisi yang setara, adil, dan harmonis dalam tatanan masyarakatnya. Komdisi demikian bisa tercapai apabila ada kebijakan yang memperlakukan dengan adil baik laki-laki maupun perempuan. Disini bukan berlebihan ingin berambisi agar kedudukan perempuan bisa menyaingi kedudukan laki-laki, tetapi yang dituntut disini ialah kesamaan hak dalam hal apaun yang harus ada bagi keduanya (Izwany, 2016). Maka dari itu, Mernissi sebagai seorang feminis sangat mengecam sistem patriarki. Gugatan yang ia gencarkan ini muncul dipengaruhi oleh hasil belajarnya ketika menempuh studi di sekolah Perancis. Berlatar dari hal tersebut, kemudian ia mengungkapkan bahwa penting untuk memahami agama secara komprehensif dan progresif agar dapat peka terhadap realitas sosial yang ada dan menepis kebiasaan golongan masyarakat tertentu yang menjadikan agama sebagai dasar untuk melegitimasi kepentingannya.
Selain itu, pandangannya-pun lahir dari hasil pembacaan secara kritis yang ia lakukan pada hadis misoginis yang kemudian diinterpretaiskan oleh Imam Ghazali. Dalam pembacaannya, Mernissi mengaitkan hadis tersebut dengan ayat Al-Qur’an yaitu QS. Al-Mukminun yang berkisah mengenai kepemimpinan Ratu Saba.’ Interpretasi yang lahir dari penafsiran yang lebih condong pada kultur patriarki akan menimbulkan penyelewengan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Hadis tersebut yang juga condong pada kultur patriarki pada akhirnya membawa Mernissi untuk mengkritisi dengan mencoba mengulas kembali kebenaran hadis tersebut.
Konsep pemikiran yang diusung Mernissi dengan melalui pembacaan ulang terhadap teks keagamaan yang ada berusaha menggali pemahaman yang benar terutama yang berkaitan dengan problem kesetaraan gender. Sehingga dapat ditemukan pemahaman yang relevan diterapkan ditengah-tengah tuntutan antara tradisi dengan modernisasi. Mernissi mengajak kita untuk lebih teliti lagi dalam mencermati ajaran Islam dan menganjurkan kita agar dapat memisahkan antara prinsi-prinsip dasar agama dengan penafsiran yang bisa jadi telah dipengaruhi oleh faktor budaya maupun historis (Askana Fikriana dan Dian Novita Sari, 2023). Ia juga menyoroti tentang pentingnya meluruskan pemahaman agama yang keliru yang sering digunakan sebagai alat untuk melegitimasi pemikiran atau tindakan seseorang yang sebenarnya diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Menurut pandangannya, ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an tidak sama sekali melarang kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi di ruang publik sebagaimana halnya laki-laki. Ini diperkuat dengan fakta sejarah yang mencacat bahwa pada zaman dahulu perempuan turut terlibat dalam urusan politik dan masyarakat. Pendapat kaum perempuan sangat didengar dan menjadi pertimbangan. Contoh tokoh perempuan yang berpengaruh pada zaman Rasulullah seperti Aisyah r.a dan para sahabat perempuan Rasul lainnya. Pemikiran beliau ini secara tidak langsung mendorong terciptnya perubahan sosial dan politik yang lebih bersifat inklusif terhadap kaum perempuan.
Analisis Penulis Dalam Merespons Pemikiran Fatima Mernisi
Sejarah mencatat, pada era setelah wafatnya khulafah ar-Rasyidin, telah terjadi perubahan yang signifikan dalam struktur pemerintahan yang semula mengunut sistem demokratis beralih menganut sistem monarkhi. Degradasi politik ini pada akhirnya juga menggiring umat Islam ketika itu pada terjadinya degradasi sosial-politik yang mengarah pada sistem patriarki. Dimana sistem tersebut sangat kental dengan nuansa subordinasi, yang mengangggap laki-laki mempunyai superioritas lebih tinggi dibandingkan kaum perempuan. Oleh karenanya, kaum perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap yang berada para urutan kedua setelah laki-laki.
Di Indonesia sendiri, sebagai negara yang sudah sedikit fleksibel dalam mengatasi isu-isu kesetaraan gender pada realitanya masih saja rentan terjadi sesuatu yang mengindikasikan pada sistem patriarki. Ini bisa ditilik pada ideologi sebagian masyarakat Indonesia yang masih mempercayai bahwa perempuan mempunyai beban ganda. Di satu sisi mereka harus memperhatikan peran kodratnya sebagai perempuan, namun di sisi lain mereka juga harus bisa ikut andil dalam ranah publik. Sehingga dari sini jelas terlihat, pemerintah telah memberikan keleluasaan kepada kaum perempuan di Indonesia untuk turut terlibat dalam urusan sosial-kemasyarakatan, sebagai contohnya dalam urusan politik.
Jika kita tarik ke belakang, maka pernyataan penulis ini sangat relevan dengan fakta yang terjadi di lapangan bahwa presiden yang pernah menjabat di Indonesia tidak hanya di dominasi dari kaum laki-laki saja, namun juga pernah dijabat oleh perempuan yaitu Ibu Megawati. Tidak hanya itu, jabatan-jabatan di daerah juga saat ini banyak diduduki oleh kaum perempuan. Contohnya saja Ibu Khofifah Indar Parawansa yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur saat ini. Kemudian di Kabupaten Pekalongan sendiri, yang menjabat sebagai kepala pemerintahannya juga dari kalangan perempuan, yaitu Ibu Fadia Arafiq.
Kondisi-kondisi tersebut lahir karena kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang fleksibel dan lebih memperhatikan aspek kesetaraan gender. Hal ini sejalan dengan apa yang diperjuangkan oleh Fatima Mernissi, seorang tokoh feminis asal Maroko yang memberikan perhatian yang cukup besar untuk melawan ketidakadilan gender yang ada di tempat asalnya. Ia berpendapat bahwa sejatinya perempuan mempunyai hak yang sama denga laki-laki dalm aspek spiritual maupun intelektual, dan yang mendasari perbedaan diantara keduanya hanyalah secara biologis.
Mernissi melakukan upaya penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan seperti Al-Qur’an dan hadis Nabi. Ia lebih condong menafsirkan ayat-ayat yang memang mendukung konsep kesetaraan gender. Kemudian pada ayat-ayat lain yang secara gamblang mempunyai penafsiran berbeda dan tidak sejalan dengan spririt kesetaraan gender, akan ia telusuri secara lebih mendalam dengan berusaha menggali kebenarannya melalui asbabun nuzul ayat baik mikro (sebab khusus turunnya ayat) dan sebab makro (kondisi objektif sosial-budaya masyarakat Arab ketika itu). Selain itu, untuk meng-counter ayat-ayat yang cenderung subordinatif terhadap kaum perempuan, ia akan mengkorelasikan ayat yang ada dengan hadis atau tradisi Rasulullah yang mempunyai makna berbeda dengan makna dalam ayat tersebut (Nabilata, 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Askana Fikriana dan Dian Novita Sari. (2023). Kepemimpinan Perempuan Sebagai Kepala Negara Menurut Pandangan Islam: Studi Pemikiran Fatima Mernissi. Dalihan Na Tolu: Jurnal Hukum, Politik Dan Komunikasi Indonesia, 2(01), 39–43.
Izwany, B. (2016). KEADILAN GENDER DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF FATIMA MERNISSI. Tahqiqa, 13(2), 1–23.
Mubarok, MF, M. (2022). IMPLIKASI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM STUDI ANALISIS PARADIGMA FATIMA MERNISSI. Jurnal Kependidikan, 10(2), 19–27.
Nabilata, L. L. (2018). HERMENEUTIKA FEMINIS: KRITIK ATAS KESETARAAN FATIMA MERNISSI. Al Adabiya: Jurnal Keislaman Dan Kebudayaan, 13(02), 201–222.
Sutrisno, A., & Salsabela, D. (2023). Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Fatima Mernissi. Sophist : Jurnal Sosial Politik Kajian Islam Dan Tafsir, 4(2), 225–241. https://doi.org/10.20414/sophist.v4i2.73