Pilpres 2024: Pendidikan Sebagai Panglima, Tantangan yang Terabaikan dalam Visi-Misi Pendidikan

Penulis: Nanang Hasan Susanto, Editor: Amarul Hakim

Hiruk pikuk Pilpres 2024 mulai berakhir dengan munculnya hasil Quick Count. Untuk Pemilihan Presiden, hasil Quick Count dari berbagai Lembaga survey menunjukkan kemenangan pasangan Prabowo-Gibran dalam satu putaran. Meskipun demikian, masih banyak pernak-pernik pemilu yang dapat menjadi bahan renungan dan evaluasi. Diantaranya adalah konten debat Capres terakhir.

Debat Capres terakhir yang berlangsung tanggal 4 Februari 2024 mengusung tema Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Berbagai tema yang diusung ini saling berkaitan antara satu dan lainnya.

Tulisan ini mengelaborasi dari aspek pendidikan. Banyak pihak menyebut, pendidikan merupakan aspek penting yang sangat berpengaruh bagi kehidupan sebuah Bangsa. Akan dibawa kemana arah perjalanan Bangsa, sangat ditentukan oleh sistem pendidikan yang dijalankan.

Contoh yang sering disebutkan untuk menggambarkan pentingnya pendidikan pada sebuah Negara adalah Jepang. Setelah Negaranya hancur akibat serangan bom Atom di Kota penting Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menata ulang pembangunan Negaranya melalui pendidikan.

Kaisar Hirohito menata ulang sekaligus melakukan reformasi besar-besaran di bidang pendidikan. Diantara klausul reformasi itu adalah penghapusan doktrin keagamaan, membebaskan pendidikan dari pengaruh militerisme serta nasionalisme, mendorong pendidikan yang inklusif, serta berorientasi pada kemajuan individu. Hasilnya, meskipun hingga saat ini reformasi kebijakan Hirohito mengundang kontroversi, faktanya, dalam waktu relatif singkat, Jepang mengalami masa yang disebut sebagai “keajaiban ekonomi”, menjadi Negara yang disegani, bersaing dengan Negara yang dulu mengalahkannya pada perang dunia ke-2.

Sayangnya, debat terakhir yang disampaikan Capres, lebih banyak menyinggung aspek pendidikan pada tataran teknis, ketimbang menyelesaikan problem pendidikan yang fundamental. Misalnya saja, pasangan Anis-Muhaimin menjanjikan semua siswa lulusan SD dipastikan harus melanjutkan sekolah hingga SMA, sekaligus menekan angka putus sekolah. Paslon ini juga menjanjikan akan memperluas akses sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, meningkatkan kesejahteraan Guru dan tenaga Pendidikan, serta pengangkatan tenaga kependidikan honorer secara meritokrasi. Terkait Pendidikan agama, paslon ini menjanjikan revitalisasi fasilitas fisik sekolah dan madrasah berbasis agama.

Paslon Prabowo-Gibran berjanji meningkatkan kwalitas guru, merenovasi sekolah, pengembangan fasilitas pendidikan, menyediakan dana abadi pendidikan dan pesantren, serta membangun berbagai sekolah unggul yang terintegrasi di setiap kabupaten. Paslon Ganjar-Mahfud berjanji sekolah dapat gaji, lulus jaminan kerja, kuliah gratis untuk anak TNI dan POLRI, guru Agama digaji, satu keluarga miskin satu sarjana serta mendorong disabilitas untuk mandiri dan berprestasi.

Berbagai visi pendidikan yang disampaikan ketiga Paslon diatas, mayoritas diarahkan pada aspek kesejahteraan, serta pembangunan fisik. Tidak ada yang dapat memungkiri, aspek tersebut memang penting. Namun demikian, aspek tersebut belum menyinggung problem fundamental pendidikan di Indonesia. Ada beberapa problem fundamental yang harus dipikirkan secara serius. Diantaranya adalah:

  1. Independensi Pendidikan

Saat ini, independensi pendidikan ternodai dengan adanya Permenristekdikti No. 19 Tahun 2017 tentang pengangkatan dan pemberhentian pemimin Perguruan Tinggi Negeri. Regulasi tersebut menetapkan, bahwa penentuan pemilihan, sekaligus pemberhentian pimpinan Perguruan Tinggi dilakukan oleh Menteri terkait.

Pimpinan kampus memiliki peran penting dalam pengembangan keilmuan. Mereka memiliki hak kuasa anggaran untuk menentukan berbagai program kampus. Jika pimpinan Kampus dipilih sekaligus bisa diberhentikan oleh Menteri, maka aspek pengembangan keilmuan terancam disandera oleh kepentingan politik. Menteri sendiri merupakan jabatan politik. Maka, bukannya fokus pada pengembangan keilmuan, fokus pimpinan kampus terancam hanya mengikuti “pesanan” dari Menteri.

Kondisi diatas diperparah dengan kebijakan baru mengenai aturan kepangkatan Dosen. Berdasarkan aturan Permenpan RB No. 1 Tahun 2023, kenaikan kepangkatan Dosen ditentukan oleh penilaian atasan. Seharusnya, jika fokus pada pengembangan keilmuan, kepangkatan Dosen ditentukan berdasarkan karya ilmiah yang memastikan berkembangnya keilmuan. Jika berdasarkan penilaian atasan, sangat berpotensi terjebak pada aspek politik atau like and dislike. Terlebih, pimpinan tertinggi kampus dipilih oleh Menteri.

Selain itu, otonomi pendidikan juga perlu dilakukan dengan memberikan aakses seluas-luasnya bagi temuan keilmuan untuk dikembangkan. Alasan kepentingan, termasuk bisnis, berpotensi membonsai pengembangan keilmuan, menjadi hanya sekedar formalitas belaka. Harus ada regulasi yang memastikan temuan keilmuan anak Bangsa dapat dikembangkan oleh pelaku industri, jasa, pertanian, perdagangan dst.  Tentu pengembnagan tersebut setelah melalui pertimbangan para ahli di bidangnya, dengan memperhatikan berbagai aspek.

Jika mau menjadi Bangsa yang besar, pendidikan harus steril dari kepentingan dan politik dalam bentuk apapun. Berbagai temuan dalam pengembangan keilmuan yang dihasilkan dari pendidikan, harus didorong untuk berkembang seluas-luasnya. Jangan sampai karena tersandera oleh birokrasi, berbagai temuan keilmuan hanya disimpan di laci akademik. Pendidikan dan pengembangan keilmuan harus independen. Tugas Negara adalah mendorong serta menfasilitasi, agar pendidikan dan pengembangan keilmuan terus berkembang. Bukannya malah mengintervensi secara politis.

  1. Diskriminasi pendidikan agama

Di Indonesia, pendidikan agama merupakan salah satu pelajaran wajib yang harus ada pada semua lembaga pendidikan formal. Hal ini sesuai regulasi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, khususnya pasal 37 ayat 2. Masalahnya, tidak semua sekolah menyediakan guru agama, sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa, khususnya dari kalangan minoritas.

Penulis pernah melakukan wawancara kepada beberapa penganut agama lokal seperti Agama Djawa Soenda di Kuningan. Parmalim di Toba dan Sapta Dharma di Jogja. Hasil wawancara menyebutkan, bahwa untuk pendidikan agama di sekolah formal, mereka kerap mengalami diskriminasi. Misalnya harus mengikuti pelajaran agama mayoritas, bahkan terkadang harus mengikuti ritual dan perayaan hari besar mereka.

Indonesia merupakan Negara besar. Agama yang mayoritas pun, bisa jadi pada sebuah daerah tertentu menjadi agama minoritas. Misalnya, Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, di Papua, dia menjadi agama minoritas. Jika pendidikan agama warga tertentu mengalami diskriminasi pada sebuah daerah, bisa jadi dia akan membalas ketika berada pada wilayah yang mayoritas. Kondisi saling balas ini bisa jadi akan berlangsung terus-menerus, tanpa ada habisnya.

Indonesia merupakan Negara yang multi agama dan kepercayaan. Maka, dibutuhkan regulasi sekaligus upaya serius untuk menjaga kaum minoritas dari diskriminasi pendidikan agama.

  1. Efektivitas Kurikulum

Filosofi pendidikan sederhananya membekali siswa untuk bisa hidup. Untuk bisa hidup, Pendidikan perlu mengenali potensi peserta didik, sekaligus mendorongnya berkembang. Masalahnya, kurikulum pendidikan saat ini terlalu banyak. Ada tuntutan pemerintah, pesanan pasar, norma agama dst, tanpa memperdulikan potensi, karakteristik dan kecenderungan siswa.

Kurikulum, idealnya bersifat praktis, sekaligus sesuai dengan minat dan bakat siswa. Bukannya terlalu banyak titipan yang yang justru malah membingungkan. Catatan Kompas tanggal 27 Nopember 2023 yang mengangkat tema “Pengangguran Lulusa Perguruan Tinggi Meningkat”, menyebutkan, angka pengangguran terdidik di Indonesia meningkat, meskipun angka pengangguran secara umum turun karena pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya angka pengangguran terdidik ini menunjukkan, kurikulum pendidikan kita belum mampu membekali mahasiswa untuk bisa “hidup”. Jika Pendidikan membekali siswa untuk bisa hidup, maka, idealnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin mudah dia dapat bekerja atau berwiraswasta.

Sayangnya, ketiga problem pendidikan diatas belum tersentuh pada debat terakhir Capres. Padahal, ketiganya merupakan aspek fundamental. Mayoritas visi Pendidikan yang disampaikan Capres hanya berada pada tataran teknis, terkesan cari aman, untuk mendapatkan simpati pemilih secara pragmatis. Padahal, perlu pemikiran yang kritis, mendalam dan komprehensif, untuk mengurai berbagai problem pendidikan di Indonesia.

Pada demokrasi langsung, dimana tingkat pendidikan masyarakat masih rendah, mengangkat isu sensitif memang sangat beresiko bagi para kandidat. Isu seperti pendidikan agama dan perombakan kurikulum, bisa jadi bukan isu seksi, sehingga dapat mengancam elektabilitas kandidat. Diperlukan pengawalan bersama untuk membentuk sistem pendidikan yang kritis dan komprehensif, menuju Indonesia yang lebih baik.