Moderasi Beragama: Harmoni dalam Kehidupan Desa Linggoasri

Penulis: Dhimas Nur Afif Adji, Editor: Ika Amiliya N, Amarul Hakim

Indonesia, dengan kekayaan budaya dan keberagaman etnis serta agama yang dimilikinya, telah menjadi laboratorium unik bagi praktek moderasi beragama. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga merupakan rumah bagi berbagai komunitas agama lainnya seperti Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya. Dalam konteks ini, moderasi beragama bukan hanya menjadi konsep teoretis, tetapi juga realitas sosial yang harus dihadapi dan diterapkan. Melalui pembahasan ini, diharapkan dapat terungkap bagaimana moderasi beragama menjadi kunci penting dalam memastikan keberlanjutan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.

Desa Linggoasri, salah satu desa di Kabupaten Pekalongan menjadi miniatur Indonesia karena keberagamannya, terutama keberagaman dalam hal agama. Hal tersebut tentu sangat menarik perhatian masyarakat untuk mengetahui keberadaannya. Salah satunya oleh sekelompok mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan yang menjalankan studi riset di desa tersebut. Harmoni dan keindahan moderasi beragama menjadi ciri khas kehidupan sehari-hari warganya. Para mahasiswa berinteraksi dengan narasumber yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menanamkan prinsip moderasi beragama di tengah-tengah masyarakat Linggoasri. Salah satunya adalah Taswono, seorang penganut Hindu, dan Mustajirin, seorang pemeluk agama Islam. Keduanya dengan tulus berbagi pandangan mereka tentang bagaimana nilai-nilai moderasi beragama diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan dan tetap terjaga di setiap tradisi keagamaan yang ada di Linggoasri.

Dalam tradisi Hindu, seperti dalam banyak tradisi keagamaan lainnya, moderasi atau kedamaian dalam beragama sering kali diterapkan melalui ajaran moral dan etika yang mendalam. Salah satu konsep yang mendasari moderasi beragama dalam konteks Hindu adalah Catur Pramita, yang berarti “empat kemuliaan sempurna” atau “empat kualitas yang luhur”. Catur Pramita ini mencakup:

  1. Maitri: Maitri diterjemahkan sebagai “kasih sayang” atau “cinta kasih”. Ini adalah perasaan kasih sayang tanpa pamrih yang diperluas kepada semua makhluk tanpa terkecuali. Dengan mengembangkan Maitri seseorang berupaya untuk mengembangkan perasaan kebaikan dan kebahagiaan bagi semua makhluk.
  2. Karuna: Karuna diterjemahkan sebagai “belas kasih” atau “kasih sayang mendalam”. Ini adalah empati yang mendalam terhadap penderitaan makhluk lain dan keinginan kuat untuk mengurangi atau mengakhiri penderitaan tersebut. Karuna mendorong seseorang untuk bertindak dengan kebaikan dan membantu orang lain dalam kesulitan.
  3. Mudita: Mudita diterjemahkan sebagai “kesenangan atas keberuntungan orang lain” atau “kegembiraan bersama”. Ini adalah perasaan sukacita yang timbul ketika seseorang melihat keberhasilan, kebahagiaan, atau kebaikan orang lain. Mudita mengajarkan seseorang untuk merasa gembira dan bersyukur atas keberhasilan dan kebahagiaan orang lain, tanpa rasa iri atau dengki.
  4. Upeksha: Upeksha diterjemahkan sebagai “ketenangan pikiran” atau “keseimbangan”. Ini adalah sikap pikiran yang stabil dan tenang dalam menghadapi berbagai keadaan, baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Upeksha mengajarkan seseorang untuk tetap netral dan tidak terjebak dalam emosi yang berlebihan, sehingga dapat mengambil keputusan dengan bijak.

Selanjutnya, dari perspektif keagamaan Islam, warga Desa Linggoasri berpegang teguh pada empat prinsip utama Alhu sunnah wal Jamaah, yakni:

  1. Tasamuh (Keterbukaan): Tasamuh merujuk pada sikap terbuka dan menerima keberagaman pendapat serta kepercayaan dalam komunitas. Hal ini menegaskan penghormatan terhadap variasi dalam agama, budaya, dan pandangan dunia.
  2. Tawasuth (Ketengah-tengahan): Tawasuth menandakan pentingnya memelihara ketengahan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti agama, pekerjaan, dan interaksi sosial, tanpa terjerumus ke dalam ekstremisme atau perilaku berlebihan.
  3. Taadul (Keadilan): Taadul berbicara tentang prinsip keadilan yang memastikan bahwa setiap individu diberikan hak yang sama dan semua keputusan diambil berdasarkan prinsip keadilan, tanpa adanya diskriminasi atau ketidakadilan.
  4. Tawazun (Keseimbangan): Tawazun mengajak untuk menjaga harmoni dalam setiap aspek kehidupan. Ini mengingatkan kita untuk memiliki pendekatan yang seimbang terhadap tuntutan agama, tugas, dan interaksi sosial, serta menghindari ekstremisme atau perilaku yang berlebihan.

Di tiap sudut Desa Linggoasri, nuansa damai selalu terasa. Melalui nuansa ini, kita diajak untuk menghargai keberagaman dan mempromosikan semangat persatuan. Bersama-sama, Desa Linggo Asri menjadi simbol di mana moderasi keagamaan bukan hanya konsep, tetapi juga menjadi prinsip hidup yang dijalankan dengan kasih sayang.