Oleh Shofi Nur Hidayah
Sudah sejak 15 Mei 1948 silam perang antara Israel dan Palestina muncul, perang tersebut bermula karena para pemuka Yahudi mendeklarasikan pembentukan negara Israel. Atas usulan tersebut memicu penolakan dari Bangsa Arab Palestina. Sejak saat itu hingga di tahun 2023 ini perang diantara kedua negara belum juga padam. Israel belum juga pulih dari serangan-serangan militer, lalu pada Minggu (8/10/2023) telah menyatakan perang melawan Hamas.
Hamas, atau Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah yaitu gerakan Islam Sunni dan nasionalisme Palestina yang menentang kependudukan zionis di wilayah tersebut. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menyatakan sangat berduka atas perang yang panjang dan sulit yang dialami oleh negerinya. Setidaknya ada lebih dari 1.000 orang menjadi korban tewas setelah kelompok militan Palestina melancarkan serangan besar-besaran dari Gaza. Hamas juga menembakkan ribuan roket ke Israel dan mengirimkan gelombang milisi yang menembak mati warga sipil serta menyandera sedikitnya 100 orang.
Atas peristiwa tersebut ketegangan di Timur Tengah semakin meningkat dan menewaskan lebih dari 700 orang dari pihak Israel, belum lagi dengan kerugian materiil bagi negara tersebut sejak perang Arab-israel di tahun 1973 setidaknya mencapai 322 juta dolar AS. Sementara itu Pejabat Gaza telah melaporkan sedikitnya ada 413 kematian di daerah miskin dan terblokade dengan penduduk mencapai 2,3 juta orang. Hal itu disebabkan oleh serangan udara Israel terhadap 800 sasaran, yang menjadi kekhawatiran banyak orang sebagai invasi darat.
Dari perang dan kasus tersebut yang telah menewaskan banyak orang serta mengakibatkan kerugian besar, rasa kemanusiaan tentu dipertanyakan. Sebab banyak korban perang tersebut yang merupakan warga sipil, perempuan bahkan anak-anak. Padahal setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Meskipun Hak Asasi Manusia hanya bisa diterapkan saat masa-masa damai, namun masih ada Hukum Humaniter Internasional yang berlaku saat perang dan masa sengketa bersenjata. Hukum ini merupakan sekelompok peraturan yang dibuat dengan tujuan membatasi dampak dari konflik bersenjata atas dasar kemanusiaan.
Secara garis besar Hukum Humaniter Internasional mengatur tentang perlindungan terhadap orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam perang seperti, warga sipil, tentara yang sudah tidak mampu berperang, dan lain-lain. Selain itu juga mengatur tentang metode dan pembatasan alat perang yang bersumber pada Dua Protokol Tambahan Konvensi Janewa. Adanya perang yang berkepanjangan memberikan pengaruh yang besar bagi para masyarakat setempat. Di mana hidupnya merasa tidak aman dan hak-hak sebagai manusia tidak didapatkan dengan baik, banyak anak yang mengalami trauma serta kesehatan mental yang terganggu. Perang memang sudah tidak mampu dieelakkan lagi diantara kedua negera, akan tetapi tetap mempertahankan kemanusiaan dengan tidak menyerang para warga sipil tentunya bisa dilakukan. Sebab masyarakat amat sangat dirugikan oleh berbagai serangan-serangan miiliter yang berjatuhan.
Perang, seringkali mengabaikan sisi penting dari kemanusiaan. Bagaimanamungkin Masyarakat sipil yang tidak berdosa dan tidak tahu menahu, ikut menjadi korban dari adanya peperangan yang tidak berkesudahan. Setiap harinya mereka merasa was-was untuk menjalani hidup dengan aman. Atas nama kemanusiaan, sudah seharusnya konflik tak berkesudahan itu segera dihentikan. Desakan-desakan perdamaian yang menguntungkan semua pihak harus terus menerus di dorong. Bagaimanapun, prinsip kemanusiaan untuk melindungi dan menjamin harkat dan martabat kehidupan manusia, harus menjadi prioritas utama.