Pewarta : Fajri Muarrikh
Pekalongan – Dalam memperingati Dies Natalis yang ke 27 tahun, Universitas Islam Negeri (UIN) KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan adakan Gelar Budaya dan Seminar Pemikiran Gus Dur yang dihadiri oleh Inayah Wahid, Putri bungsu Alm. Gus Dur dan Zastrow Al-Ngatawi, seorang budayawan sekaligus mantan ajudan Gus Dur yang dilaksanakan pada hari Minggu (05/05) yang bertempat di gedung Student Center kampus 2 UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
Seminar Pemikiran Gus Dur ini dihadiri oleh pejabat tinggi civitas akademik kampus UIN Gusdur, seperti Prof. Zaenal Mustakim (Rektor UIN Gusdur) beserta tiga wakil rektornya, dosen, mahasiswa, Jaringan Gusdurian Pekalongan, dan masyarakat lainnya.
Prof. Zaenal Mustakim dalam sambutan pembukaannya, beliau mengatakan bahwa, “..nama UIN kita ini tidak sembarangan, nama yang ini berkah, berkah untuk UIN Gusdur, karena kita tanpa mengenalkan, berkoar-koar, semua orang sudah tahu siapa Gus Dur..”
Dengan betapa besarnya Gus Dur, bukan pada sosoknya tapi pemikirannya.Gus Dur. Sehingga ini tidak akan selesai dikaji dalam ruang waktu yang terbatas, ini akan langgeng. Selagi jaman ini masih hidup, jaman/dunia ini masih ada, maka pemikiran Gus Dur ini akan selalu kita kenang, dan akan selalu dikaji tidak akan selesai-selesai. Lanjut Prof. Zainal.
“..oleh sebab itu termasuk hari ini, bapak-ibu sekalian, ini juga sekaligus embrio untuk menyusun paradigma keilmuan kita, yang akan saya kembangkan kaya apa, yang nanti akan disinggung sedikit oleh Kang Zastrow, insyaallah semester depan kita akan mulai memikirkan ini.”
“..kita ingin bahwa UIN Gusdur ini bukan sekedar namanya ditempelkan di UIN-nya, tapi ingin pemikiran-pemikiran Gus Dur ini betul-betul menginspirasi kita semuanya, menjadi pijakan kita untuk beraktifitas menyelenggarakan pendidikan, pengajaran, penelitian, dan juga pengabdian masyarakat untuk kita semua.” Pungkas Prof. Zainal.
Dalam kesempatan Seminar Pemikiran Gus Dur kali ini, Zastrow menjelaskan tentang pemikiran Gus Dur soal humanisme. Menurutnya, untuk melihat suatu pemikiran dalam teori sosiologi pengetahuan tentang habitus seseorang.
“Habitus Gus Dur pertama adalah tradisi keilmuan pesantren, karena ini yang membentuk pribadi Gus Dur sejak beliau kecil hingga masa remajanya. Yang kedua adalah Gus Dur hidup dalam pemikiran-pemikiran Islam klasik yang ada di lingkungan pesantren. Habitus yang ketiga yang menyentuh Gus Dur adalah pemikiran modernisme barat, karena sejak kecil Gus Dur sudah membaca buku ‘Das Capital’, dan novel-novel yang sangat diilhami pemikiran timur tengah. Ini adalah pondasi dasar yang membentuk karakter pola pikir dan sistem pengetahuan yang ada pada diri seorang Gus Dur. Itu tadi pada fase pertama.” Jelas Zastrow.
Dan pada fase kedua, lanjut Zastrow, ketika Gus Dur berangkat ke Timur Tengah (Mesir), disitulah Gus Dur bertemu dengan pemikiran Hassan Albana, Ikhwanul Muslimin, pemikiran klasik sufistik, sampai sastra klasik Timur Tengah hingga tradisi budaya Eopa pada saat itu.Ini adalah fase eksplorasi.
“Nah, sehingga membentuk kerangkaepistemologinya Gus Dur rasional-modern, yang dipertautkan dengan spiritual-tradisional. Jadi, modernitas adlah srang rasionalitas, tradisionalisme sarang spiritualitas, oleh Gus Dur dibentuk hubungan yang sejajar dan komplementer.” Imbuh Zastrow.
Orang-orang modern mendudukkan modernisme dan tradisionalisme adalah kontradiktif. Sementara Gus Dur, mendamaikan keduanya.
“Makanya kalau kampanye orang-orang sekarang ‘kan orang modern itu (mengatakan) kalau Anda ingin maju, ingin hebat, ignin berkembang, jadilah orang modern, jangan jadi orang tradisional. Ini ‘kan kontradiktif. Sementara Gus Dur enggak, kalau Anda ingin maju, berkembang, tautkan rasionalitas-spiritualitas, tautkan modernitas dengan tradisionalitas secara seimbang, bentuk hubungan yang komplementer. Tutup Zastrow.
Dalam hal ini, Inayah Wahid berkesempatan untuk menjelaskan tentang pluralisme dan globalisasi, kosmopolitanisme yang ada pada diri Gus Dur.
“Saya sangat percaya bahwa pluralisme atau keragaman itu sendiri, itu adalah bagian dari humanisme. Ketika berbicara manusia, maka pasti akan berbicara keragaman. Kalau Anda tidak sepakat, Anda adalah bagian dari keragaman tersebut dan Anda akan mengekalkan pernyataan saya.” Jelas Inayah.
Inayah bercerita, bahwa Gus Dur itu kuliah di Mesir, bapaknya (Wahid Hasyim) itu seorang menteri. Itu memang menjadi sebuah privillage. Dan Inayah mengandaikan, jika dia jadi Gus Dur, dengan masa mudanya berkeliling Timur Tengah, dari Mesir, Baghdad hingga sampai ke Eropa, lalu pulang lagi ke Indonesia, mungkin jika dia yang menjadi Gus Dur, dia bakal berdiam diri di rumah saja, tanpa perlu membela minoritas lain. Dia bakal mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk diri sendiri.
“Saya punya gelar dari luar negeri, saya punya ilmu, saya punya privillage,maka yang saya akan lakukan adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk saya sendiri, terserah mau bagaimana masyarakat. Tapi untungnya, Gus Dur bukan saya.” Sambung Inayah.
Ketika Gus Dur pulang, yang menarik adalah, ketika isi kepalanya sudah diisi globalisasi, akalnya menjadi sangat kuat. Seperti yang dijelaskan oleh Zastrow tadi, sebagai pribumisasi, menjadi kelokalan. Karena globalisasi harus berawal dari mana kita berpijak. Dan itu yang paling kuat dari seorang Gus Dur, pemikirannya, isi kepalanya boleh mendapat asupan dari negara manapun, tapi dia tidak menjadi manfaat kalau dia tidak bisa diletakkan dalam konteks lokal.
“Dan itu yang tadi dijelaskan oleh Pak Zastrow dijelaskan sebagai tradisional, sekuler, modernitas, yang setara, sejalan dengan yang tradisional, tidak mengecilkan, tidak menganggap sesuatu yang 4.0 atau 5.0 adalah sesuatu yang lebih baik, dibandingkan sesuatu yang lokal.” Tutup Inayah.